Kanal24, Malang – Sistem peradilan pidana anak di Indonesia dinilai masih timpang dalam memberikan perlindungan antara anak pelaku dan anak korban. Ketimpangan ini menjadi sorotan Prof. Dr. Nurini Aprilianda, S.H., M.Hum., yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada Kamis (21/8/2025).
Dalam pidato pengukuhannya berjudul “The Dual Balance Model: Menyatukan Perlindungan Anak Pelaku dan Hak Korban dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”, Prof. Nurini menekankan pentingnya menciptakan keseimbangan perlindungan antara dua pihak yang terlibat langsung dalam perkara pidana, yaitu pelaku dan korban anak.
“Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih banyak menekankan perlindungan terhadap pelaku, sedangkan kepentingan korban masih sangat minim. Ini menimbulkan ketidakseimbangan yang perlu segera dibenahi,” tegas Prof. Nurini.
Ia menjelaskan, salah satu akar persoalan terletak pada tidak adanya mekanisme formal seperti Victim Impact Statement (VIS) yang memungkinkan korban menyampaikan dampak psikologis dan pengalaman mereka di hadapan pengadilan. Ketidakhadiran VIS membuat kepentingan anak korban tidak terakomodasi dalam putusan, sehingga pemulihan mereka tidak optimal.
Untuk mengatasi persoalan ini, Prof. Nurini menawarkan The Dual Balance Model, sebuah pendekatan baru yang mengintegrasikan perlindungan terhadap pelaku dan pemulihan hak korban melalui empat pilar utama. Pertama, asesmen ganda untuk menilai kebutuhan pelaku dan korban secara menyeluruh. Kedua, penerapan VIS sebagai wadah formal bagi korban. Ketiga, penyediaan layanan lintas sektor untuk mendukung pemulihan dan rehabilitasi. Keempat, partisipasi bermakna dari kedua pihak dalam proses hukum.
“Model ini berbasis trauma dan relasional, sehingga mampu memberikan keadilan restoratif yang lebih inklusif. Dengan pendekatan ini, pemulihan sosial bisa berjalan seiring dengan perlindungan hukum,” jelasnya.
Guru besar aktif ke-13 Fakultas Hukum ini juga menegaskan bahwa meski implementasinya menghadapi tantangan regulasi dan kesiapan kelembagaan, konsep ini berpotensi menjadi landasan reformasi peradilan anak di Indonesia.
“Perlu ada regulasi yang secara tegas mengatur hak korban, termasuk pengakuan formal terhadap Victim Impact Statement. Jika diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan, hakim akan lebih mempertimbangkan dampak tindak pidana terhadap korban anak,” ujarnya.
Pengukuhan Prof. Nurini menjadikannya Profesor ke-439 yang dihasilkan Universitas Brawijaya. Kehadiran gagasan ini diharapkan menjadi langkah strategis untuk mewujudkan sistem peradilan pidana anak yang lebih adil dan humanis. (Din)