Kanal24, Malang – Fenomena perbedaan antara novel dan film adaptasi bukanlah hal baru bagi para pecinta karya sastra maupun penikmat layar lebar. Setiap kali sebuah novel populer diangkat ke layar kaca, respons penonton kerap terbagi menjadi tiga: ada yang senang karena merasakan pengalaman baru, ada yang kecewa karena merasa ceritanya berbeda jauh, dan ada pula yang tidak berkomentar karena belum pernah membaca bukunya.
Di Indonesia, sejumlah karya sastra terkenal telah diadaptasi ke layar lebar, mulai dari Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, 5 Cm karya Donny Dhirgantoro, hingga Filosofi Kopi karya Dee Lestari. Bahkan novel remaja populer Dilan juga sempat ramai dibicarakan ketika rilis dalam bentuk film. Meski begitu, satu pertanyaan masih kerap muncul: mengapa film adaptasi seringkali berbeda dengan novel aslinya?
Baca juga:
5 Fakta Film Animasi Merah Putih: One For All

Perbedaan pertama muncul dari interpretasi. Setiap pembaca, termasuk sutradara, memiliki imajinasinya sendiri tentang tokoh, setting, dan suasana dalam novel. Sutradara harus menerjemahkan tulisan menjadi visual, dan hasilnya seringkali tidak sama dengan bayangan pembaca. “Selalu ada perbedaan antara novel dan film. Sutradara punya cara pandang sendiri yang kemudian memengaruhi hasil akhir,” ujar Aldwin (23), seorang mahasiswa asal Yogyakarta yang hobi membaca novel sekaligus menonton film.
Selain interpretasi, faktor dana juga sangat berpengaruh. Produksi film membutuhkan anggaran besar, mulai dari pembelian hak cipta, pemilihan aktor ternama, hingga pembangunan set. Semakin kompleks cerita novel, semakin tinggi pula kebutuhan anggarannya. Misalnya, film The Devil Wears Prada membutuhkan lebih dari Rp 6 miliar hanya untuk membeli hak adaptasi dari penulis, belum termasuk biaya produksi dan honor para aktor seperti Anne Hathaway dan Meryl Streep.
Sebuah novel bisa menghabiskan ratusan halaman untuk menceritakan detail cerita, sementara film hanya punya waktu sekitar dua jam. Perbedaan format inilah yang membuat banyak adegan, karakter, atau alur terpaksa dipadatkan. Contoh nyata adalah Harry Potter, di mana ratusan halaman novel hanya diwakili durasi singkat sehingga banyak detail cerita hilang dari versi layar lebar.
Tak jarang, tim produksi juga melakukan perluasan maupun penyempitan cerita. Hal ini bertujuan agar film lebih dramatis dan menarik secara emosional. Misalnya dalam adaptasi Rectoverso karya Dewi Lestari, tokoh “Aku” dan “Kamu” dalam cerpen diubah menjadi “Regi” dan “Amanda” dalam film. Bahkan ada penambahan karakter baru untuk memperkaya konflik dan mempertegas alur.
Baca juga:
Liburan Alam Seru: Camping Favorit Malang
Meski perbedaan antara novel dan film kerap menuai protes dari para penggemar buku, penting diingat bahwa adaptasi adalah proses kreatif. Tim produksi harus menyesuaikan cerita dengan keterbatasan waktu, dana, dan kebutuhan visual. Hasil akhirnya memang tidak akan sama persis dengan imajinasi pembaca, tetapi justru di situlah letak tantangan sekaligus daya tarik film adaptasi.
Pada akhirnya, penontonlah yang menentukan: lebih menikmati versi novel yang detail atau versi film yang padat dan dramatis.(nvl)