Kanal 24, Malang — Pagar beton kokoh berdiri di depan pintu gerbang gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin pagi, (25/08/2025). Beberapa kendaraan taktis diparkir di halaman, sementara aparat kepolisian berjaga di berbagai titik sekitar Jalan Gatot Subroto. Meski pengamanan tampak ketat, lalu lintas di kawasan itu masih lancar. Jumlah massa yang hadir pun hanya segelintir, tidak lebih dari 50 orang.
Kontras terlihat antara suasana lapangan dan riuhnya jagat maya sehari sebelumnya. Di media sosial, khususnya TikTok, muncul unggahan video yang memberi kesan bahwa aksi 25 Agustus 2025 akan berlangsung besar-besaran. Salah satunya akun @inibukanni** yang mengunggah lima video pada Minggu, (24/08/2025).
Baca juga:
Ketimpangan Dagang RI-AS: Diplomasi Minim Visi dan Kajian

Salah satu videonya menampilkan massa dengan jas almamater berdiri di depan gerbang DPR, lengkap dengan keterangan ajakan bagi masyarakat agar berhati-hati saat demo dan membawa air minum. Ada pula video dengan tulisan, “Kondisi terkini di depan gedung DPR, sudah siap untuk demo besok Senin dengan beton di depan.” Rekaman itu kemudian viral, ditonton hingga 2,7 juta kali, dan mengundang ribuan komentar.
Namun, rekaman-rekaman tersebut bukanlah kondisi terkini. Tak jelas kapan video itu sebenarnya diambil. Fenomena ini menimbulkan tanda tanya sekaligus antusiasme di kalangan warganet.
Isu Gaji DPR Jadi Pemicu
Pemicunya adalah kabar tentang tunjangan perumahan anggota DPR yang mencapai Rp 50 juta per bulan. Jika digabung dengan gaji pokok dan tunjangan lain, total penghasilan anggota dewan disebut bisa melampaui Rp100 juta per bulan.
Isu ini menimbulkan banyak komentar di media sosial. “Pasti besok anggota DPR enggak masuk kerja tapi gaji tetap jalan ya,” tulis akun @mochicoklat776. Sementara akun @dealpi menambahkan, “Padahal kalau kerjanya benar rakyat enggak masalah mau gaji gede juga.”
Gelombang protes yang berakar dari isu tersebut kemudian meluas dengan narasi politik lain. Ajakan demonstrasi mengatasnamakan kelompok “Revolusi Rakyat Indonesia”. Mereka menyerukan masyarakat, mahasiswa, petani, hingga buruh untuk turun ke jalan. Tuntutan yang disampaikan tidak hanya soal tunjangan, tetapi juga desakan pengusutan dugaan korupsi keluarga mantan Presiden Joko Widodo, pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, bahkan seruan agar Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan dekrit pembubaran DPR RI.
Dukungan Palsu, Penolakan Nyata
Meski ajakan menyebar luas, banyak pihak justru menegaskan tidak ikut serta. Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Mohammad Jumhur Hidayat, menolak keterlibatan organisasinya.
“Karena tidak jelas siapa penanggung jawab dan juga apa isu yang dituntutnya, saya melarang semua anggota atau keluarga besar KSPSI di seluruh Indonesia khususnya di wilayah Jabodetabek dalam aksi 25 Agustus 2025,” kata Jumhur pada Sabtu, (23/08/2025), dikutip dari Antara.
Ia menilai, tanpa penanggung jawab yang jelas, aksi rawan menjadi anarkis. “Ini artinya mengorbankan rakyat untuk kepentingan politik elite,” ujarnya.
Kelompok mahasiswa juga menegaskan hal serupa. Koordinator Media Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan, Pasha Fazillah Afap, memastikan pihaknya tidak ikut turun. “Dari kami tidak ada,” ucapnya saat dihubungi, Sabtu, (23/08/2025).
Menurutnya, pencatutan nama BEM SI Kerakyatan dalam ajakan itu adalah keliru. Ia menjelaskan, organisasinya sudah melakukan demonstrasi lebih dahulu pada 21 Agustus 2025, dengan isu penolakan revisi UU KUHAP dan UU Penyiaran, serta kritik terhadap praktik militerisme di ranah sipil.
Kelompok buruh pun bersikap sama. Ketua KASBI, Sunarno, menyatakan “KASBI tidak terlibat dalam aksi tersebut” lewat pesan singkat pada (22/08/2025). Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menambahkan bahwa meski ada isu serupa, pihaknya memilih menggelar aksi sendiri pada (28/08/2025).
“Puluhan ribu buruh dari pelbagai wilayah akan berdemonstrasi di depan gedung DPR dan Istana Negara,” kata Said. Aksi dengan tema “Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah” juga dijadwalkan serentak di kota-kota industri seperti Serang, Samarinda, hingga Makassar.
Warga yang Hadir
Di tengah minimnya peserta aksi, ada sosok yang mencuri perhatian: Asy’ari, seorang pria asal Sukabumi. Ia datang dengan cara tak biasa, berjalan kaki menuju Jakarta. Dengan kalung kardus bertuliskan “Merah Putih Memanggil 25 Agustus 2025 Rakyat Merdeka”, Asy’ari menegaskan aksinya murni inisiatif pribadi.
“Saya datang untuk menjalankan aksi tanpa terafiliasi aliansi apapun. Aksi ini inisiatif pribadi sebagai keresahan saya sebagai rakyat terkait isu kenaikan gaji anggota dewan yang ironi di tengah sulitnya kondisi ekonomi,” katanya sebagaimana dikutip dari Liputan6.com.
Gaung Besar, Massa Kecil
Demo 25 Agustus 2025 akhirnya tidak berlangsung sebesar narasi yang tersebar di media sosial. Aksi yang digadang-gadang akan menghadirkan gelombang rakyat, faktanya hanya menghadirkan puluhan orang. Meski begitu, pengamanan tetap dilakukan secara maksimal demi mencegah potensi kericuhan.
Baca juga:
Cahaya untuk Gaza : UB Berangkatkan 2 Dokter Terbaik
Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya peran media sosial dalam membentuk persepsi publik. Seruan yang viral bisa memunculkan ekspektasi besar, meski realitasnya tidak selalu sama. Isu yang menyentuh kehidupan rakyat, seperti penghasilan pejabat publik, terbukti cepat memicu respons emosional, bahkan sebelum kebenaran informasinya terverifikasi.
Bagi sebagian warga, aksi ini menjadi simbol keresahan sosial yang tak tersalurkan lewat jalur formal. Namun bagi organisasi besar, ketidakjelasan inisiator dan tuntutan justru dianggap berisiko menjerumuskan rakyat ke agenda politik elite.
Pada akhirnya, demo 25 Agustus 2025 meninggalkan pelajaran: bahwa keterbukaan informasi, literasi digital, dan kejelasan kepemimpinan gerakan sangat penting dalam menjaga aspirasi masyarakat agar tetap sehat, terarah, dan tidak dimanfaatkan oleh pihak tertentu. (han)