Kanal24, Malang – Fenomena krisis integritas di perguruan tinggi belakangan ini menjadi isu yang tidak bisa diabaikan. Kasus korupsi, konflik kepentingan, nepotisme hingga gratifikasi telah menodai citra kampus sebagai ruang suci pencetak generasi intelektual dan pemimpin bangsa.
Kondisi tersebut mendorong lahirnya gagasan akademik berupa buku “Dilema Zona Integritas Perguruan Tinggi”, yang ditulis bersama dosen dan mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya (UB). Bedah buku ini menghadirkan Dr. Muhtar Haboddin, S.IP., M.A. (Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP UB), Arna Dea Septiananda (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan 2023 FISIP UB), serta Ahmad Lutfi, S.Sos., M.A.P. (Dosen Administrasi Publik Universitas Merdeka Malang).
Baca juga:
Discrete Choice Experiment Jadi Metode Penting Riset Peternakan

Latar Belakang Penulisan Buku
Dalam pemaparannya, Dr. Muhtar Haboddin menjelaskan bahwa buku ini berawal dari tugas mata kuliah Etika Pemerintahan. Para mahasiswa diberi kesempatan menulis isu-isu seputar integritas, mulai dari kasus korupsi, nepotisme, konflik kepentingan, hingga gratifikasi. Di sisi lain, muncul pula tulisan tentang kejujuran dan integritas. Dari dua sisi ini kemudian lahir sebuah karya kolektif yang merefleksikan dilema integritas di kampus.
“Buku ini adalah respon dari perguruan tinggi dan mahasiswa untuk mengawasi kampus agar selalu menunjukkan nilai akademis, kejujuran, dan kebenaran. Kenapa disebut ‘dilema’? Karena di satu sisi kita berjuang membangun integritas, tapi di sisi lain masih melihat praktik yang mencederai dunia akademik,” ungkap Muhtar.
Integritas sebagai Tanggung Jawab Bersama
Muhtar menekankan bahwa upaya membangun zona integritas bukan hanya tanggung jawab birokrasi kampus atau dosen, tetapi seluruh civitas akademika. Setiap unsur, mulai dari rektor, tenaga kependidikan, dosen, hingga mahasiswa, harus memiliki pemahaman yang sama mengenai pentingnya budaya kejujuran.
Menurutnya, generasi muda, khususnya mahasiswa baru, harus ditanamkan nilai anti-korupsi sejak awal. “Jika ekosistem integritas ingin dibangun, maka perlu kesadaran bersama. Ada ruang aduan di UB yang bisa dimanfaatkan mahasiswa untuk melaporkan pelanggaran integritas. Semua ini bagian dari budaya mengatakan ‘tidak’ pada korupsi,” tegasnya.

Suara Mahasiswa tentang Praktik KKN
Arna Dea Septiananda, salah satu mahasiswa penulis, mengungkapkan bahwa praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) masih ditemukan dalam organisasi mahasiswa internal. Menurutnya, hal ini terjadi karena belum adanya sistem pengikat yang mampu menekan peluang penyalahgunaan wewenang.
“Kampus harus lebih terbuka terhadap aspirasi mahasiswa. Zona integritas itu penting, karena perguruan tinggi adalah rahim bangsa. Lulusan kampus bukan hanya cerdas, tapi juga harus berintegritas demi Indonesia yang maju,” tutur Arna.
Pandangan Pembedah Buku
Sebagai pembedah, Ahmad Lutfi menegaskan bahwa kampus seharusnya menjadi motor utama dalam membangun zona integritas. Namun, realitas menunjukkan praktik KKN masih berlangsung di banyak perguruan tinggi.
“Zona integritas jangan hanya jadi jargon atau pencitraan. Harus diwujudkan dalam kebijakan nyata. Peran mahasiswa sangat penting, karena di tangan merekalah kejujuran bisa ditegakkan. Jika kejujuran dipraktikkan, maka otomatis zona integritas itu akan terbangun,” jelasnya.

Baca juga:
UB Bekali Skill TI Mahasiswa Difabel Agar Siap Masuki Dunia Industri
Harapan dari Bedah Buku
Kegiatan ini dihadiri sekitar 150 mahasiswa, sebagian besar mahasiswa baru Ilmu Pemerintahan. Mereka tidak hanya mendengarkan pemaparan isi buku, tetapi juga terlibat dalam diskusi kritis mengenai implementasi nilai integritas di dunia akademik.
Melalui bedah buku ini, FISIP UB berharap dapat memperluas wawasan mahasiswa tentang pentingnya budaya anti-korupsi serta menginspirasi mereka untuk berkarya melalui tulisan. Lebih jauh, acara ini diharapkan menjadi langkah konkret dalam memperkuat tradisi akademik yang menjunjung tinggi kejujuran dan integritas di perguruan tinggi. (nid/dpa)