Kanal24, Malang – Gelombang protes rakyat dengan tuntutan 17+8 memaksa pemerintah dan DPR bergerak cepat merespons. Presiden mengambil langkah dengan mencopot sejumlah menteri serta menonaktifkan anggota DPR yang terseret polemik tunjangan. DPR pun memasukkan RUU Perampasan Aset ke dalam daftar prioritas legislasi 2025. Namun, langkah-langkah itu dinilai masih sebatas “pemanis” dan belum menyentuh inti persoalan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum., menilai respon yang diberikan pemerintah dan DPR belum menyentuh substansi utama tuntutan publik. Menurutnya, pergantian menteri maupun penghentian tunjangan DPR hanya bersifat simbolik.
“Kalau pemerintah serius, mengapa tidak mengeluarkan Perppu untuk mempercepat RUU Perampasan Aset? Ini justru seperti bola pingpong antara pemerintah dan DPR, tanpa greget,” tegasnya.

Respon Simbolik Versus Substansi
Sejumlah langkah yang diambil pemerintah memang terlihat cepat. Presiden mengumumkan reshuffle kabinet, termasuk mencopot beberapa menteri yang selama ini disorot publik. DPR juga merespons dengan menonaktifkan sebagian anggotanya dan menghentikan tunjangan. Namun, Dr. Aan menilai tindakan itu belum cukup menjawab substansi tuntutan 17+8.
Menurutnya, RUU Perampasan Aset menjadi isu paling esensial. Tanpa regulasi yang jelas, upaya pemberantasan korupsi hanya akan berjalan di tempat. “RUU ini penting, tapi sampai sekarang pembahasannya lamban. Kalau mau serius, Presiden bisa langsung menerbitkan Perppu, seperti dulu pada Undang-Undang Cipta Kerja,” katanya.
DPR dan Tuntutan Publik
Meski DPR memastikan RUU Perampasan Aset masuk dalam Prolegnas prioritas 2025 dan pembahasannya akan dilakukan paralel dengan RKUHAP, publik masih skeptis. Banyak yang menilai langkah itu hanya untuk meredam gejolak demonstrasi.
“Penonaktifan anggota DPR juga hanya pemanis. Mereka bisa diaktifkan lagi. Kalau partai politik berani, seharusnya melakukan pemberhentian tetap, bukan sekadar menunda,” ujar Aan.
Demokrasi dan Kanal Aspirasi
Lebih jauh, ia menyoroti persoalan kanal demokrasi yang semakin menyempit. Rakyat yang menyampaikan aspirasi lewat demonstrasi kerap dihadapkan pada pendekatan represif aparat. Menurutnya, kondisi ini tidak sehat bagi demokrasi.
“Menyatakan pendapat, berkumpul, dan berorganisasi dijamin konstitusi. Kalau kanal aspirasi ditutup, wajar muncul ledakan berupa kerusuhan. Seharusnya DPR juga membuka ruang dialog sebagaimana Presiden yang pernah menerima mahasiswa,” jelasnya.
Reformasi yang Belum Tuntas
Kasus tuntutan 17+8 mencerminkan masih jauhnya perjalanan reformasi di Indonesia. Pemerintah dan DPR memang sudah bergerak, tetapi belum menyentuh sisi esensial. Menurut Aan, selama pembahasan RUU Perampasan Aset terus mandek, kepercayaan publik terhadap negara akan terus tergerus.
“Jangan sampai langkah-langkah ini hanya jadi kosmetik politik. Yang dibutuhkan adalah komitmen nyata agar demokrasi dan supremasi hukum benar-benar berjalan,” pungkasnya.(Din)