Kanal24, Malang – Lulus dari bangku kuliah seharusnya menjadi pintu menuju masa depan yang cerah. Namun, bagi generasi yang memasuki dunia kerja di tengah kelesuan ekonomi, momen ini justru berubah menjadi jalan terjal penuh ketidakpastian. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pandemi Covid-19 hingga perlambatan global beberapa tahun terakhir membuat lulusan baru kesulitan mendapatkan pekerjaan layak, stabil, dan sesuai keahlian.
Fenomena ini dikenal sebagai scarring effect atau “efek bekas luka”, yakni dampak jangka panjang yang dialami lulusan yang terpaksa masuk pasar kerja saat ekonomi lesu. Efeknya bisa berupa pendapatan lebih rendah, pekerjaan tidak stabil, hingga memengaruhi kesejahteraan keluarga dan kesehatan mental di masa depan.
Jejak Luka Panjang Resesi
Riset Lisa B. Kahn dari Yale University menegaskan bahwa lulusan saat resesi mengalami penurunan pendapatan besar dan persisten hingga puluhan tahun kemudian. Data menunjukkan, mereka kerap menerima pekerjaan di bawah kemampuan, di perusahaan kecil, atau posisi rendah tanpa pelatihan memadai. Kondisi awal ini membuat jalur karier terhambat. Studi lain oleh Oreopoulos, von Wachter, dan Heisz membuktikan fenomena serupa di Amerika Serikat dan Kanada. Meski teknologi digital mempercepat pemulihan generasi modern, efek luka tetap muncul dalam bentuk kesenjangan gaji hingga satu dekade pertama pasca kelulusan.
Pemulihan yang Tidak Merata
Pemulihan pasca krisis tidak berjalan setara bagi semua lulusan. Mereka yang berasal dari kampus ternama, jurusan populer, atau memiliki jaringan kuat cenderung lebih cepat bangkit. Sebaliknya, lulusan dari keluarga ekonomi lemah dan universitas kecil sering kali terjebak di pekerjaan informal atau perusahaan berskala kecil, tanpa peluang besar untuk promosi. Perbedaan ini memperlebar ketidaksetaraan pendapatan antarjurusan dan antarindividu. Di sejumlah negara, faktor identitas seperti ras dan gender juga memperburuk dampak krisis terhadap kelompok tertentu.
Realitas Indonesia: Dari 1998 hingga Pandemi
Konteks Indonesia menunjukkan pola yang serupa. Krisis moneter 1998 membuat banyak sarjana beralih ke sektor informal setelah kehilangan pekerjaan formal, dengan penurunan upah riil mencapai 31 persen. Pada masa pandemi Covid-19, data BPS mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan perguruan tinggi sempat menyentuh 10 persen. Tren ini terus meningkat, bahkan pada Februari 2025 proporsinya naik menjadi 13,89 persen. Banyak lulusan terpaksa bekerja lepas, membantu usaha keluarga, atau menjadi wirausahawan mikro tanpa kepastian karier.
Namun, sektor digital dan UMKM menjadi penopang utama. Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) senilai Rp695 triliun memberikan ruang adaptasi dengan mendukung UMKM, pelatihan daring, dan perluasan lapangan kerja.
Teknologi dan Jalan ke Depan
Era digital menawarkan secercah harapan. Platform pencari kerja daring, proyek freelance, hingga pasar digital global memungkinkan lulusan mengakses peluang yang sebelumnya terbatas. Online Labour Index mencatat pertumbuhan 90 persen dalam proyek kerja lepas daring sepanjang 2016–2021. World Economic Forum dalam laporan Future of Jobs 2025 menyebut bahwa teknologi, kecerdasan buatan, dan robotika akan menciptakan jenis pekerjaan baru, sekaligus menggeser sebagian besar pekerjaan lama. Meskipun demikian, tingkat pengangguran global tahun 2025 tercatat rendah di angka 4,9 persen, terendah sejak 1991.
Harapan dalam Ketidakpastian
Kondisi ini menegaskan bahwa waktu kelulusan sangat menentukan perjalanan karier seseorang. Namun, di era modern, intervensi teknologi, kebijakan pemerintah, serta kreativitas individu dapat mempercepat proses pemulihan. Meski resesi tetap meninggalkan luka, generasi lulusan 2025 memiliki peluang lebih besar untuk bangkit dibandingkan era sebelumnya. (ali/nid)