Kanal24, Malang – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 menegaskan kewajiban negara dalam menjamin hak pendidikan gratis tanpa diskriminasi di sekolah negeri maupun swasta. Namun, implementasi keputusan ini dinilai masih menghadapi tantangan besar, terutama di level pemerintah daerah.
Hal tersebut mengemuka dalam Seminar Nasional bertajuk “Formulasi Pendidikan Gratis Tingkat Sekolah Menengah Pasca Putusan MK No. 3/PUU-XXII/2024: Peluang dan Strategi Menuju Indonesia Emas 2045” yang digelar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Senin (15/9/2025).
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menegaskan bahwa pasca putusan MK, pemerintah daerah tidak lagi memiliki ruang untuk menunda pemenuhan hak pendidikan. Menurutnya, pemerintah pusat dan daerah sama-sama wajib mengalokasikan minimal 20 persen anggaran dari APBN maupun APBD untuk membiayai sekolah gratis.
“Putusan ini dibacakan oleh Hakim di 2025, maka kami berharap 2026 sudah bisa dilaksanakan se-Indonesia. Kita sebenarnya tidak punya masalah terkait kemampuan fiskal. APBN 20 persen ditambah APBD provinsi dan kabupaten/kota, itu sudah cukup. Pertanyaannya hanya ada political will atau tidak dari pemerintah pusat maupun daerah,” tegas Ubaid.
Kewajiban Daerah: Hitung Anak, Sediakan Bangku
Menurutnya, implementasi putusan MK di tingkat lokal menuntut kerja nyata pemerintah daerah, termasuk di Jawa Timur dan Malang Raya. Ubaid menjelaskan, pemerintah daerah harus terlebih dahulu menghitung jumlah anak usia sekolah, lalu memastikan ketersediaan bangku sesuai angka tersebut.
“Tidak boleh lagi ada praktik seleksi yang membuat anak gagal masuk sekolah. Pendidikan itu hak semua anak, bukan kompetisi. Pemerintah daerah wajib menyediakan bangku sekolah sesuai jumlah anak usia sekolah di wilayahnya,” paparnya.
Ia mencontohkan, di Kota dan Kabupaten Malang serta Batu, pemerintah daerah harus segera melakukan pemetaan jumlah murid potensial dan kapasitas sekolah negeri. Jika kapasitas negeri tidak mencukupi, sekolah swasta harus dilibatkan, dengan biaya sepenuhnya ditanggung negara.
“Ini perintah konstitusi. Tidak ada alasan satupun anak Indonesia tidak bisa sekolah. Kalau masih ada, maka itu kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya,” tambahnya.
Baca juga : Pendidikan Gratis Pasca Putusan MK: Antara Janji Konstitusi dan Political Will Pemerintah
Kritik atas Program Sekolah Rakyat
Ubaid juga menyoroti program “Sekolah Rakyat” yang selama ini dipromosikan pemerintah. Menurutnya, program tersebut tidak menjawab persoalan anak putus sekolah karena daya tampungnya sangat kecil.
“Jumlah anak tidak sekolah di Indonesia mencapai 3,9 juta. Sementara Sekolah Rakyat hanya menampung sekitar 10 ribu siswa, atau 0,03 persen. Itu sama sekali tidak signifikan. Negara tidak bisa hanya membuat program tanpa perhitungan kebutuhan riil,” kritiknya.
Ia menegaskan, perhitungan harus dimulai dari jumlah anak usia sekolah, kebutuhan biaya, hingga ketersediaan fasilitas. Tanpa basis data yang jelas, kebijakan akan melahirkan kesenjangan baru.
Advokasi Masyarakat Sipil
Dalam forum tersebut, Ubaid menekankan pentingnya peran masyarakat sipil dalam mengawal implementasi putusan MK. Menurutnya, publik harus aktif mengawasi agar pemerintah daerah benar-benar mengalokasikan anggaran sesuai mandat konstitusi.
“Kalau ada anak tidak sekolah, masyarakat harus menagih kepada pemerintah. Itu tanggung jawab negara. Pasal 31 UUD 1945 jelas menyebut pemerintah wajib membiayai pendidikan. Jadi, advokasi publik menjadi kunci agar putusan MK tidak hanya berhenti di atas kertas,” jelasnya.
Ia menambahkan, sistem penerimaan murid baru juga perlu diperbaiki agar lebih terintegrasi secara nasional. Dengan demikian, pemerintah bisa memastikan seluruh anak terdaftar dalam jalur pendidikan formal, baik di sekolah negeri, swasta, madrasah, maupun pesantren.
“Bedanya hanya anak sekolah di mana. Tapi pemerintah harus punya data lengkap. Prinsipnya adalah no one left behind, tidak boleh ada satupun anak Indonesia yang tidak kebagian bangku sekolah,” kata Ubaid.
Tantangan Political Will
Meski dari sisi anggaran dinilai memadai, hambatan terbesar terletak pada kemauan politik pemerintah. Ubaid mengingatkan, pemerintah pusat cenderung lebih fokus pada program makan bergizi gratis ketimbang pendidikan gratis itu sendiri.
“Padahal yang dijamin oleh putusan MK adalah hak atas pendidikan. Maka pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu segera menyusun regulasi turunan dan langkah eksekusi konkret agar amanat konstitusi ini terwujud,” tegasnya.
Seminar nasional ini diikuti akademisi, praktisi pendidikan, serta mahasiswa FH UB. Para pembicara menekankan bahwa keberhasilan implementasi pendidikan gratis pasca putusan MK akan menjadi fondasi penting dalam mencetak generasi emas 2045.
“Kalau pendidikan saja masih diskriminatif dan mahal, bagaimana kita bisa berharap melahirkan generasi emas? Negara harus serius. Tidak ada alasan lagi,” tutup Ubaid.(Din/Dht)