Kanal24, Malang – Di tengah meningkatnya potensi kerugian negara akibat praktik korupsi, kinerja aparat penegak hukum justru menurun drastis. Fenomena ini tergambar jelas dalam laporan terbaru Indonesia Corruption Watch (ICW) bertajuk Tren Penindakan Kasus Korupsi 2024, yang dirilis pada Selasa (30/9/2025). Laporan itu mengungkap, jumlah kasus tindak pidana korupsi (tipikor) yang ditangani aparat sepanjang 2024 hanya 364 kasus, menurun lebih dari 50 persen dibanding tahun sebelumnya, sekaligus menjadi yang terendah dalam lima tahun terakhir.
ICW juga mencatat ironi besar: meskipun jumlah kasus dan tersangka menurun, estimasi kerugian negara justru melonjak hampir sembilan kali lipat, dari Rp28,4 triliun pada 2023 menjadi Rp279,9 triliun pada 2024. Lonjakan fantastis ini dipicu terutama oleh kasus Tata Niaga Komoditas Timah di PT Timah Tbk yang menyumbang 96,8 persen kerugian negara sepanjang 2024.
Baca juga:
Rahayu Saraswati Mundur: Bukti Tekanan Publik Lebih Kuat dari Mekanisme Partai
Kerja Penegak Hukum Merosot Drastis
Penurunan penindakan kasus tipikor tercermin pada seluruh aparat penegak hukum, mulai dari Kejaksaan, Kepolisian, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data ICW menunjukkan, Kejaksaan hanya menangani 236 kasus dengan 648 tersangka, Kepolisian 83 kasus dengan 191 tersangka, dan KPK hanya 18 kasus dengan 49 tersangka. Jumlah ini turun tajam dibandingkan tahun 2023, ketika total tersangka mencapai 1.695 orang.
Menurut ICW, ada tiga faktor utama penyebab melemahnya penindakan. Pertama, rendahnya transparansi data kinerja aparat. Kedua, lemahnya koordinasi antara KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian. Ketiga, pengabaian terhadap laporan masyarakat yang sering kali tidak ditindaklanjuti secara serius.
Lebih ironis lagi, sejumlah satuan kerja di Kejaksaan maupun Kepolisian tercatat sama sekali tidak melakukan penindakan kasus korupsi sepanjang 2024. ICW mencatat ada enam Kejaksaan Tinggi, 292 Kejaksaan Negeri, 63 Cabang Kejaksaan Negeri, 14 Kepolisian Daerah, dan 445 Kepolisian Resor yang nihil data penanganan kasus korupsi.
KPK Stagnan Pasca Revisi UU
Merosotnya kinerja KPK menjadi sorotan serius. Dari 18 kasus yang ditangani, hanya lima yang diungkap melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT). Jumlah tersangka yang ditetapkan pun turun drastis hingga 67 persen dibandingkan tahun 2023.
Mantan penyidik senior KPK, Praswad Nugraha, menilai penurunan tersebut bukan indikasi berkurangnya praktik korupsi, melainkan tanda semakin rapuhnya deteksi dan penindakan. Ia menegaskan, stagnasi KPK sudah terlihat sejak revisi Undang-Undang KPK pada 2019, yang melemahkan independensi lembaga antirasuah tersebut.
“Minimnya jumlah perkara di tengah maraknya korupsi pada sektor sumber daya alam, pendidikan, dan infrastruktur menunjukkan KPK mengalami stagnasi kelembagaan,” ujar Praswad.

Gerakan Antikorupsi Mulai Jengah
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana, menilai fenomena ini memperlihatkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia kehilangan daya sebagai instrumen kontrol kekuasaan. Pendekatan penindakan, terutama OTT KPK yang dulu ditakuti, kini tidak lagi cukup mempan menekan praktik korupsi.
Menurutnya, akar persoalan korupsi berada pada patronase politik dan konflik kepentingan yang tidak tersentuh aparat hukum. Pergeseran strategi dari penindakan ke pencegahan yang kerap didengungkan pemerintah dinilai justru sebagai bentuk kejenuhan gerakan antikorupsi, bukan penguatan strategi substantif.
“Penindakan yang menurun drastis terutama di Polri dan KPK lebih memperlihatkan keterbatasan kedua institusi ini dalam menangani kasus-kasus besar,” kata Bagus.
Tahun Politik, Tahun Anomali
Penurunan penindakan kasus korupsi pada 2024 juga menimbulkan paradoks karena bertepatan dengan tahun politik. Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menyebut kondisi itu sebagai anomali. Menurutnya, justru di tahun Pemilu, potensi kasus korupsi seharusnya meningkat karena kebutuhan biaya politik yang besar.
Namun, fokus penegak hukum justru beralih. Kebijakan Jaksa Agung dan Kapolri yang menunda penindakan terhadap peserta Pemilu 2024 dinilai kontraproduktif. Padahal, pengusutan kasus korupsi di ranah politik bisa menjadi filter penting agar publik tidak disuguhi calon pemimpin yang bermasalah.
“Independensi aparat penegak hukum adalah kunci menghindari intervensi politik. Sayangnya, hal itu justru melemah di tahun 2024,” tegas Lakso.
Baca juga:
FISIP UB Hidupkan Panggung Demokrasi, Aspirasi Mahasiswa Lawan Krisis Politik
Desakan Reformasi Hukum
ICW mendesak pemerintah dan DPR segera memperkuat kerangka hukum pemberantasan korupsi. Rekomendasi yang diajukan antara lain revisi UU Tipikor agar selaras dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), serta percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset.
Pasalnya, dari ratusan kasus tipikor 2024, hanya 48 yang dijerat dengan Pasal 18 UU Tipikor dan lima dengan pasal pencucian uang. Padahal, kerugian negara yang fantastis hanya bisa dipulihkan maksimal jika pemulihan aset dijadikan instrumen utama.
Tren penindakan korupsi yang melemah di tengah meningkatnya kerugian negara menimbulkan ironi besar bagi Indonesia. Alih-alih memperkuat independensi, transparansi, dan koordinasi lembaga penegak hukum, justru yang muncul adalah pelemahan kelembagaan serta potensi intervensi politik. Jika tidak segera dibenahi, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi ritual formal yang kehilangan makna, sementara budaya korupsi tetap tumbuh subur. (nid)