Kanal24 – Tren kuliner kekinian semakin menjamur. Croissant butter, matcha cake, hingga snack kemasan rasa rumput laut dan tteokbokki tengah jadi favorit banyak orang. Namun dibalik cita rasa yang menggoda, ada ancaman kesehatan serius yang patut diwaspadai yaitu obesitas. Dokter spesialis gizi klinik, Cut Thalya, menegaskan bahwa tidak semua tren makanan aman jika dikonsumsi berlebihan. “Konsumsi gorengan, makanan olahan cepat saji, yang gurih dan renyah, mengandung paling banyak lemak jenuh dan lemak trans. Hal ini bisa jadi pemicu obesitas,” kata Cut Thalya saat ditemui di RS Husada Jakarta, Jumat (18/7/2025).
Menurutnya, tubuh memang membutuhkan lemak sebagai pembentuk hormon, sumber energi, dan komponen penting dinding sel. Hanya saja, jenis dan jumlah lemak harus diperhatikan. “Lemak berlebih akan disimpan dalam tubuh dan menyelimuti organ kita. Jumlah lemak yang berlebih dapat menimbulkan peradangan, jadi mudah terserang penyakit,” jelasnya.
Tren Obesitas Meningkat di Indonesia
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi obesitas di Indonesia sebesar 21,8 persen. Angka ini naik menjadi 23,4 persen dalam Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Sementara itu, laporan NCD Risk Factor Collaboration (NCD-RisC) 2024 mengungkapkan bahwa obesitas lebih banyak dialami perempuan dewasa di Indonesia, yakni 16,58 persen, dibanding laki-laki yang hanya 6,53 persen.Ironisnya, sebagian masyarakat masih menganggap obesitas bukan masalah. Pipi tembem kerap dianggap lucu, perut buncit dinormalisasi sebagai tanda kedewasaan, bahkan tubuh gemuk kadang dipuji sebagai simbol kesuksesan.
Kisah Ilham, dari 110 Kg Menjadi Instruktur Olahraga
Pengalaman pribadi Ilham Wijaya bisa menjadi pelajaran. Saat berusia 22 tahun pada 2013, ia melampiaskan stres kuliah dengan makan berlebihan. Berat badannya pun mencapai 110 kilogram. “Waktu kuliah, stres sedikit larinya ke makan, seperti ayam geprek. Termasuk minuman manis saya asal ambil. Tahun 2013 itu berat badanku di 110 kg,” kenangnya. Akibatnya, Ilham sering sakit, sesak napas, dada nyeri, hingga tekanan darah tinggi. Kondisi tersebut menjadi titik balik untuk mengubah gaya hidup. Pada 2017, ia mulai menata pola makan dan rutin olahraga. Kini, di 2025, berat badannya stabil di 73 kilogram. “Sekarang aku lebih fokus meningkatkan massa otot, mengurangi kadar lemak, dan menghindari gorengan serta roti manis. Kopi gula aren juga sudah tidak lagi,” ujarnya. Perubahan itu bahkan membawanya menjadi instruktur Body Pump, sebuah latihan angkat beban dengan repetisi tinggi yang dipadukan musik energik.
Bahaya Lebih dari Sekadar Obesitas
Obesitas bukan satu-satunya risiko lemak trans. WHO menyebut lemak trans industrial—yang terbentuk dari proses hidrogenasi parsial atau pemanasan minyak—dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner. Lemak trans menaikkan kadar LDL (kolesterol jahat) dan menurunkan HDL (kolesterol baik).Penelitian WHO pada 2023 menemukan 8,46 persen dari 130 sampel jajanan di Indonesia mengandung lemak trans berlebih. Padahal, batas aman hanya 2 gram per 100 gram lemak total. Makanan yang diuji mencakup minyak goreng, margarin, biskuit, wafer, kue, roti, hingga makanan cepat saji seperti ayam goreng dan kentang goreng.
Regulasi Belum Ketat di Indonesia
Meski industri makanan dan minuman menyumbang Rp1,53 kuadriliun ke PDB Indonesia pada 2024, aturan pencantuman kadar lemak trans pada label gizi belum diwajibkan. Baru 53 negara di dunia yang memiliki regulasi ketat, sementara Singapura sudah membatasi kadar lemak trans maksimal 2 persen pada produk makanan. Kepala BPOM Taruna Ikrar menyebut pihaknya sedang mendorong aturan lebih tegas. “Trans lemak ini jadi pemicu setengah juta kematian setiap tahunnya. Namun, untuk menerapkan aturan, perlu harmonisasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan pelaku usaha,” jelasnya pada (24/7/2025). Kendati begitu, Taruna mengakui tantangan terbesar ada pada industri makanan. “Pelaku usaha harus melakukan penyesuaian, mengubah konten pada label gizi, dan itu membutuhkan biaya,” ujarnya.
Kesadaran Konsumen Jadi Kunci
Selama aturan belum ketat, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran akan bahaya lemak trans. Membaca label gizi, memilih makanan sehat, serta membatasi konsumsi gorengan dan olahan siap saji adalah langkah sederhana yang bisa dilakukan. Seperti pengalaman Ilham, perubahan pola makan dan kebiasaan bisa membawa dampak besar. Dari 110 kilogram menjadi instruktur olahraga, ia membuktikan bahwa menghindari lemak trans dan menjaga gaya hidup sehat bukan sekadar mencegah obesitas, tapi juga menyelamatkan hidup.(tia)