Kanal24, Malang – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi pembagian kuota haji tambahan di Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2023–2024, yang sebelumnya ditaksir mencapai Rp1 triliun, masih bersifat sementara. KPK memastikan angka tersebut belum final dan berpotensi bertambah seiring pendalaman penyidikan serta perhitungan resmi yang tengah dilakukan bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyebutkan bahwa lembaganya tidak ingin gegabah dalam mengambil langkah hukum, khususnya terkait penahanan maupun pengumuman tersangka baru. Menurutnya, langkah itu baru akan ditempuh setelah penghitungan kerugian negara selesai secara menyeluruh.
“Jumlah kerugian ini belum final waktu itu, hanya penghitungan kasar. Jadi nanti untuk pastinya, pada saat dilakukan upaya paksa penahanan biasanya sudah selesai perhitungan kerugian keuangan negara,” ujar Asep dalam keterangan tertulis, Kamis (2/10/2025).
Baca juga:
Rahayu Saraswati Mundur: Bukti Tekanan Publik Lebih Kuat dari Mekanisme Partai
Polemik Pembagian Kuota Haji
Kasus ini bermula dari keputusan pemerintah terkait 20.000 kuota haji tambahan yang diberikan oleh Arab Saudi pada 2024. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama (Kepmen) RI Nomor 130 Tahun 2024, kuota tersebut dibagi rata: 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Namun, skema pembagian ini dinilai menyalahi aturan. Pasal 64 Ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh dengan jelas menyebutkan bahwa kuota seharusnya dialokasikan 92 persen untuk haji reguler dan hanya 8 persen untuk haji khusus. Artinya, ada pergeseran besar dari kuota reguler ke kuota khusus, yang diduga membuka ruang penyalahgunaan wewenang.
Padahal, kuota tambahan dari pemerintah Arab Saudi diberikan untuk membantu memangkas masa tunggu panjang bagi calon jemaah haji reguler yang jumlahnya mencapai jutaan.
Dugaan Lobi dan Suap Travel Haji
KPK menduga ada intervensi dari pihak asosiasi maupun penyelenggara perjalanan ibadah haji dalam proses pembagian kuota tersebut. Indikasi adanya lobi hingga praktik suap kepada pejabat Kemenag menguat setelah penyidik menemukan bukti awal keterlibatan sejumlah pihak swasta.
“Dugaan kami, ada pemberian uang dari pihak travel haji kepada pejabat di Kemenag terkait pembagian kuota tambahan ini,” ungkap Asep.
Skema penyalahgunaan itu diperkirakan memberikan keuntungan besar bagi pihak travel, mengingat kuota haji khusus memiliki biaya lebih tinggi dibandingkan kuota reguler. Dengan dialihkannya sebagian besar tambahan kuota untuk haji khusus, potensi keuntungan ekonomi yang didapat pihak tertentu menjadi signifikan.
Langkah KPK dan Potensi Tersangka Baru
Meski angka kerugian negara sudah ditaksir mencapai Rp1 triliun, KPK menegaskan jumlah itu bisa bertambah setelah hasil audit resmi BPK keluar. Hingga kini, lembaga antirasuah masih mendalami aliran dana, jaringan aktor yang terlibat, serta indikasi keterlibatan pejabat tingkat tinggi di Kemenag.
Baca juga:
FISIP UB Hidupkan Panggung Demokrasi, Aspirasi Mahasiswa Lawan Krisis Politik
“Kalau sudah selesai penghitungan kerugian negara, maka proses penetapan tersangka baru dan penahanan bisa segera dilakukan,” tambah Asep.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena menyangkut penyelenggaraan ibadah haji yang menyentuh langsung kepentingan umat. Selain menimbulkan kerugian negara, praktik korupsi dalam kuota haji juga berdampak pada keadilan akses bagi calon jemaah, khususnya mereka yang menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan kesempatan beribadah ke Tanah Suci.
Dengan perkembangan terbaru ini, publik menantikan langkah tegas KPK untuk mengusut tuntas kasus korupsi kuota haji tambahan, sekaligus memastikan bahwa pengelolaan ibadah haji di Indonesia dapat berjalan sesuai prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. (nid)