Kanal24, Malang – Isu kebebasan berbicara di Indonesia menjadi sorotan utama dalam pemaparan Dr. Eka Nugraha Putra, Research Fellow di Centre for Trusted Internet and Community (CTIC), National University of Singapore (NUS). Dalam materinya, ia menekankan bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi seringkali masih belum konsisten dalam menjamin hak asasi manusia, khususnya kebebasan berpendapat.
Dr. Eka menyoroti adanya ketegangan antara hukum nasional dan standar HAM internasional, serta kasus-kasus pelanggaran seperti pembatasan demonstrasi dan hilangnya aktivis. Pemaparan ini disampaikan dalam Kuliah Tamu & Launching Buku Free Speech in Indonesia: State Power and Coercive Response yang digelar Kompartemen Hukum Internasional FH UB pada Rabu (1/10/2025) di Auditorium Lantai 6 Gedung A.
Baca juga:
Pembicara ICWRDEP 2025 Tawarkan Solusi Water Sensitive Urban Design

Ketegangan antara Hukum Nasional dan Standar Internasional
Dalam bukunya, Dr. Eka menelaah secara mendalam kerangka hukum Indonesia yang mengatur kebebasan berpendapat dan membandingkannya dengan prinsip-prinsip HAM internasional yang telah diratifikasi. Ia menekankan bahwa kebebasan berekspresi memang dijamin, namun regulasi sering dipakai untuk membatasi bahkan memberangus suara masyarakat.
“Kalau demokrasi dijalankan, harus siap dengan kebisingan suara publik. Tapi faktanya, ada banyak kasus di mana kebebasan berekspresi dibatasi. Itu jelas menunjukkan kita belum sepenuhnya berdemokrasi,” ujarnya.
Kepentingan Publik Harus Jadi Prioritas
Menurut Dr. Eka, esensi demokrasi adalah menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan penguasa. Ia mencontohkan demonstrasi sebagai bentuk ekspresi sah rakyat ketika kebijakan dinilai tidak adil, misalnya kenaikan gaji pejabat yang memicu kemarahan publik.
“Pemerintah harus menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Kalau suara rakyat ditekan, maka substansi demokrasi hilang,” tegasnya.
Baca juga:
The 6th ICWRDEP 2025: UB Satukan Kolaborasi Hadapi Krisis Air Global
Inspirasi bagi Mahasiswa dan Akademisi
Di hadapan mahasiswa FH UB, Dr. Eka juga menekankan pentingnya menekuni isu-isu yang menjadi passion sejak di bangku kuliah. Ia berharap buku ini dapat menjadi inspirasi akademis sekaligus membangun kesadaran kritis mahasiswa terhadap peran mereka sebagai agent of change dalam memperjuangkan hak-hak demokratis masyarakat.
“Kesuksesan muncul dari mengerjakan sesuatu yang dicintai. Kalau mahasiswa tertarik dengan isu HAM, tekuni dengan sungguh-sungguh. Dari situlah kontribusi nyata bisa lahir,” tuturnya. (nid/tia)