Kanal24, Malang – Satrya Paramanandana, co-owner Soendari Batik & Art memaparkan pandangannya tentang posisi batik dalam dunia mode, khususnya di tengah tren global yang kini beralih dari fast fashion menuju slow fashion. Hal ini, ia ungkapkan dalam rangkaian acara EAF X FEB BERBATIK 2025 di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.
Menurut Satrya, batik bukan sekadar kain tradisional, tetapi produk mode yang fleksibel dan adaptif. “Batik bisa dikreasikan dalam berbagai model pakaian, bukan hanya untuk acara formal. Bisa berupa outer, jaket, hingga busana kasual. Selama masih menggunakan teknik batik, ia akan tetap bernilai,” jelasnya.
Baca juga:
APBN dan Tantangan Belanja Negara ke Depan

Ia menekankan bahwa batik sebagai slow fashion justru lebih ekonomis dalam jangka panjang. Meskipun harganya relatif lebih tinggi, kualitas batik handmade yang tahan lama menjadikannya investasi yang bernilai dibandingkan pakaian fast fashion yang cepat rusak.
Batik di Lingkungan Akademik dan Kehidupan Sehari-hari
Satrya juga menyoroti bagaimana batik dapat dengan mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di lingkungan akademik. Untuk aktivitas kampus atau sekolah, misalnya, batik dapat dikreasikan dalam bentuk kemeja dengan desain yang rapi namun tetap nyaman.
“Batik sangat adaptif, bahkan untuk kegiatan belajar mengajar. Tidak harus terlihat kuno atau kaku, asalkan modelnya sesuai dengan konteksnya, batik tetap bisa digunakan di ruang-ruang akademik,” ujarnya.
Lebih jauh, Satrya memperkenalkan kampanye yang dijalankan di galerinya, yaitu Everyday is Batik Day. Menurutnya, batik tidak seharusnya hanya dirayakan setiap 2 Oktober saat Hari Batik Nasional, tetapi bisa dikenakan setiap hari dalam bentuk apapun, meski sekecil detail aksesori.
Pelatihan Membatik Sebagai Upaya Pelestarian
Dalam sesi yang berlangsung di aula lantai 7 Gedung F FEB UB tersebut, Satrya tidak hanya memberikan materi, tetapi juga mengajak peserta untuk berdiskusi dan mencoba membatik bersama. Konsep ini dipilih agar mahasiswa tidak hanya memahami teori, tetapi juga merasakan pengalaman langsung membatik.
Baca juga:
Coffee Rider Hadir di Jalan Veteran Malang
“Kami berusaha membangun kesadaran bahwa membatik itu menyenangkan, bukan hal yang sulit atau menakutkan. Dengan mencoba langsung, mahasiswa bisa merasakan bagaimana proses kreatif batik sekaligus menghargai nilai seni di baliknya,” jelas Satrya.
Ia menambahkan bahwa setiap upaya kecil, seperti mengenakan batik dalam aktivitas sehari-hari, merupakan bentuk kontribusi nyata untuk melestarikan warisan budaya bangsa. “Semakin sering kita gunakan, semakin kita sadari bahwa batik adalah bagian dari identitas kita,” pungkasnya. (nid/tia)