Kanal24, Malang – Dunia pendidikan Indonesia memasuki babak baru dengan diterapkannya Tes Kemampuan Akademik (TKA) pada 2025. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menegaskan bahwa TKA akan menjadi alat ukur capaian akademik siswa yang bersifat nasional, sekaligus bagian dari penyaringan menuju jenjang pendidikan lebih tinggi.
Kebijakan ini tertuang dalam Permendikdasmen Nomor 9 Tahun 2025, yang menyebutkan bahwa TKA pertama kali diterapkan pada siswa kelas 12 SMA/MA dan siswa tingkat akhir SMK/MAK, sebelum nantinya diperluas ke jenjang lain. Tujuannya jelas: menciptakan ukuran standar yang merata, agar kualitas lulusan tidak terlalu timpang antar daerah.
Namun, penerapan kebijakan ini memunculkan banyak pertanyaan. Apakah TKA akan benar-benar menjadi instrumen peningkatan mutu, atau justru memperlebar jurang kesenjangan antar wilayah dengan kualitas pendidikan yang berbeda?
Antara Standar Nasional dan Ketimpangan Daerah
Indonesia sejak lama menghadapi tantangan ketimpangan mutu pendidikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) menunjukkan adanya disparitas signifikan antara daerah perkotaan dan pedesaan dalam hal fasilitas, kualitas guru, hingga akses teknologi. Kondisi ini membuat sebagian kalangan khawatir bahwa TKA akan lebih menguntungkan siswa dari kota besar yang memiliki sarana pendidikan lebih baik.
“Tes kemampuan akademik memang bisa menjadi indikator penting untuk menilai kesiapan siswa melanjutkan studi. Tapi jangan lupa, kualitas pendidikan di daerah berbeda-beda. Kalau dipukul rata, itu bisa menimbulkan ketidakadilan,” ujar Ilhamuddin Nukman, S.Psi., M.A., psikolog pendidikan Universitas Brawijaya, dalam wawancara eksklusif bersama WWC.
Menurutnya, ada dua modal utama yang menentukan keberhasilan siswa di jenjang pendidikan tinggi: kemampuan kognitif yang bisa diukur lewat tes, serta kinerja akademik sebelumnya yang tercermin dari nilai rapor. Namun, nilai rapor tidak selalu cukup akurat, sehingga tes tambahan memang diperlukan.
“Tes ini hanya satu variabel dari banyak hal yang bisa menimbulkan stres. Kehidupan sehari-hari pun penuh tekanan. Jadi TKA sebaiknya dilihat proporsional—bukan sebagai beban, tapi sebagai alat bantu seleksi,” jelas Ilhamuddin.
Risiko Tekanan Psikologis
Dari perspektif psikologi pendidikan, penerapan TKA bisa menimbulkan konsekuensi ganda. Di satu sisi, tes ini memberi kepastian objektif dalam seleksi. Namun, di sisi lain, ia berpotensi meningkatkan kecemasan, terutama bagi siswa dari sekolah dengan mutu yang masih tertinggal.
Sebuah laporan dari Journal of Educational Psychology (2023) mencatat bahwa ujian standar nasional di banyak negara sering kali memicu “exam stress” pada siswa, yang bisa berdampak pada motivasi belajar maupun kesehatan mental.
Ilhamuddin mengingatkan agar masyarakat tidak buru-buru menyamakan tes akademik dengan ancaman bagi kesejahteraan siswa. Menurutnya, stres adalah bagian dari proses belajar, dan TKA hanyalah salah satu pemicu di antara sekian banyak faktor lain.
“Yang lebih penting adalah bagaimana negara memitigasi dampak psikologis dengan sosialisasi, pendampingan guru, dan komunikasi yang jernih kepada siswa maupun orang tua. Jangan sampai isu TKA dibelokkan menjadi alasan untuk menolak filterisasi akademik yang jelas,” katanya.
Perlunya Kebijakan Afirmasi
Salah satu usulan Ilhamuddin adalah perlunya kebijakan afirmatif. Ia menekankan bahwa standar pendidikan tidak bisa dipukul rata. Misalnya, kota dengan mutu pendidikan tinggi bisa menggunakan standar nasional penuh, sementara daerah dengan kualitas sedang atau rendah perlu mendapat afirmasi berupa adaptasi soal, mekanisme penilaian khusus, atau tambahan program remedial.
“Kalau tidak ada afirmasi, siswa dari daerah dengan keterbatasan fasilitas akan selalu kalah bersaing. Itu bukan karena mereka kurang pintar, tapi karena akses mereka terhadap pendidikan berkualitas lebih sempit,” ujarnya.
Pendapat ini sejalan dengan temuan World Bank Education Report 2022, yang menyebut bahwa ketimpangan mutu pendidikan di Indonesia masih menjadi tantangan besar, terutama di wilayah timur Indonesia.
Tantangan Implementasi: Infrastruktur dan Sosialisasi
Selain soal keadilan, aspek teknis pelaksanaan juga menjadi sorotan. TKA direncanakan berbasis digital. Artinya, sekolah harus memiliki perangkat dan jaringan internet memadai. Masalahnya, data Kemendikbudristek (2024) menunjukkan masih ada 23% sekolah di Indonesia yang kesulitan akses internet stabil.
Ilhamuddin menekankan dua langkah krusial: sosialisasi masif dan kesiapan infrastruktur. Menurutnya, kebijakan pendidikan tidak boleh dijalankan tiba-tiba tanpa kajian mendalam. Minimal enam bulan sebelum implementasi, harus ada uji coba, komunikasi publik, serta simulasi agar siswa tidak kaget.
“Kalau tiba-tiba diterapkan, pasti akan ada shock. Tapi shock itu sifatnya sementara, bisa diminimalkan kalau ada sosialisasi jelas dan perangkat pendukung sudah siap,” katanya.
Menatap Masa Depan Pendidikan Indonesia
Meski menuai pro dan kontra, kebijakan TKA 2025 mencerminkan upaya pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan secara menyeluruh. Bagi Ilhamuddin, kunci keberhasilan bukan pada ada atau tidaknya tes, melainkan pada cara kebijakan ini dijalankan.
Ia menekankan perlunya pendekatan kontekstual dan berlapis, bukan seragam untuk semua daerah. Dengan begitu, TKA bisa menjadi instrumen peningkatan mutu, bukan sekadar alat pembeda antara yang beruntung dan tidak.
“Fokus kita jangan hanya pada siapa yang lulus dan siapa yang gagal. Lebih penting lagi, bagaimana tes ini mendorong siswa belajar dengan sehat, guru mendampingi lebih baik, dan negara menghadirkan akses yang adil bagi semua anak,” tutupnya.(Din/Dpa)