Kanal24, Malang – Upaya menciptakan pangan laut yang aman dan berkelanjutan kini semakin menemukan bentuknya. Hal itu tergambar dalam paparan Prof. Soottawat Benjakul, pakar dari International Center of Excellence in Seafood Science and Innovation (ICE-SSI), Prince of Songkla University, Thailand, saat menjadi pembicara utama dalam The 6th International Conference on Fisheries and Marine Research (ICoFMR) 2025 yang digelar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya (FPIK UB), di Grand Mercure Malang, 3–4 Oktober 2025.
Dalam presentasinya, Prof. Benjakul menyoroti pentingnya inovasi bahan aditif alami untuk menggantikan bahan sintetis yang selama ini digunakan dalam pengolahan hasil laut.
“Ini adalah kesempatan penting untuk berbagi hasil riset terbaru kami tentang aditif alami yang bisa digunakan pada produk seafood, menggantikan bahan sintetis yang berpotensi menimbulkan kekhawatiran kesehatan,” ujarnya (4/10/2025).
Baca juga : ICoFMR 2025: UB Pimpin Kolaborasi Riset Laut untuk Ketahanan Pangan Global
Ia menjelaskan, aditif alami yang dikembangkan tim risetnya berasal dari berbagai sumber seperti extreme marine resources, pertanian, hingga biomaterial seperti kitosan dan carbon dots. Bahan-bahan ini memiliki aktivitas antioksidan dan antimikroba tinggi, sehingga efektif memperpanjang umur simpan produk perikanan tanpa menurunkan kualitasnya.
“Bahan ini bisa menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan menjaga kesegaran ikan lebih lama. Pendekatan alami ini juga lebih aman untuk konsumen, terutama anak-anak,” tambahnya.
Dari Laboratorium ke Komersialisasi
Lebih lanjut, Prof. Benjakul menekankan pentingnya mempercepat transisi riset dari skala laboratorium menuju skala industri. Menurutnya, salah satu tantangan utama inovasi pangan laut di Asia Tenggara adalah skala produksi dan pembiayaan riset.
“Saat ini kami telah memiliki pilot plant di pusat riset kami, lengkap dengan reaktor berkapasitas hingga 3.000 liter untuk memproduksi bahan aditif alami dalam skala besar,” ungkapnya.

Ia menambahkan, kolaborasi dengan sektor industri menjadi kunci keberhasilan riset agar tidak berhenti di tahap eksperimental. “Kami bekerja sama dengan beberapa perusahaan untuk mengembangkan dan mengomersialisasikan hasil riset. Tantangan terbesar memang ada pada pendanaan, tetapi melalui dukungan lembaga riset dan hibah, inovasi ini bisa terus berlanjut,” jelasnya.
Kolaborasi jadi Fondasi Ketahanan Pangan Global
Dalam sesi diskusi, Prof. Benjakul juga menegaskan pentingnya konferensi seperti ICoFMR sebagai wadah bagi ilmuwan, praktisi, dan pelaku industri untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman. Ia menyebut bahwa kolaborasi lintas negara menjadi fondasi penting bagi ketahanan pangan global, terutama menghadapi dampak perubahan iklim terhadap sektor perikanan.
“Konferensi ini menjadi platform luar biasa bagi para peneliti dan mahasiswa untuk belajar, berbagi, dan berjejaring. Saya berterima kasih kepada panitia atas penyelenggaraan acara ini,” ujarnya.
Menurutnya, inovasi di bidang seafood tidak hanya soal teknologi, tetapi juga tentang tanggung jawab sosial untuk menghadirkan pangan yang sehat dan aman bagi generasi mendatang.
“Jika kita bisa beralih ke aditif alami, kita tidak hanya melindungi konsumen, tetapi juga berkontribusi pada keberlanjutan sumber daya laut,” tegasnya.
Prof. Soottawat Benjakul mengingatkan bahwa masa depan industri perikanan tidak hanya ditentukan oleh volume produksi, tetapi juga oleh kualitas, keamanan, dan keberlanjutan. Inovasi aditif alami yang ia kembangkan membuka jalan menuju ekosistem pangan laut yang lebih sehat, hijau, dan berdaya saing global.(Din/Dhit)