Kanal24, Malang – Tak banyak yang melihat potensi besar di balik kulit dan sisik ikan yang dibuang begitu saja. Namun bagi Abdul Aziz Jaziri, S.Pi., M.Sc., dosen muda Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya (FPIK UB), tumpukan limbah itu justru menjadi sumber inspirasi. Dari sisa pengolahan ikan, ia menemukan peluang untuk mengubah limbah menjadi bahan bernilai ekonomi tinggi—kolagen alami yang kini banyak diburu industri kosmetik, farmasi, hingga nutraseutikal.
“Daripada dibuang dan mencemari lingkungan, limbah ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai jual produk perikanan. Dari penelitian saya, kolagen ikan terbukti berpotensi mempercepat penyembuhan luka dan memiliki efek anti-aging,” ujarnya kepada Kanal24, Senin (13/10/2025).
Penelitian tersebut bukan hanya soal inovasi produk, tetapi juga bentuk kepedulian terhadap keberlanjutan ekosistem laut. Aziz percaya, masa depan industri perikanan Indonesia harus bertumpu pada konsep ekonomi biru—mengelola sumber daya laut tanpa merusaknya. Dalam pandangannya, setiap potensi hasil perikanan, termasuk limbahnya, dapat menjadi peluang untuk memperkuat kemandirian ekonomi nasional sekaligus menjaga keseimbangan lingkungan.
Dedikasi itulah yang akhirnya mengantarkan Aziz menembus panggung internasional. Ia dianugerahi Outstanding Young Fisheries Scientist Award 2025 dalam ajang The 13th International Fisheries Symposium, yang diselenggarakan oleh ASEAN Fisheries Education Network (ASEAN-FEN)—konsorsium universitas se-Asia Tenggara di bidang perikanan dan akuakultur.

Menurutnya, penghargaan itu bukan sekadar simbol prestasi, tetapi bukti bahwa riset perikanan Indonesia memiliki daya saing global. “Untuk menjadi pemenang, ada berbagai kriteria yang dinilai, mulai dari jumlah publikasi terindeks Scopus atau Web of Science, kegiatan pengabdian masyarakat, hingga jejaring internasional yang dimiliki,” jelasnya.
Melalui kolaborasi dengan berbagai universitas luar negeri, seperti University Malaysia Sabah dan Prince of Songkla University, Thailand, Aziz berhasil memperluas jejaring riset dan membawa nama UB diakui di kancah akademik internasional. Kini, ia tengah mengembangkan prototipe serum kolagen ikan yang berfungsi untuk penyembuhan luka dan anti-penuaan, serta mengajukan hibah inovasi agar dapat diproduksi dalam skala lebih luas.
Namun, perjalanan itu tak selalu mulus. Di balik sederet pencapaian, Aziz mengaku kerap bergelut dengan keterbatasan bahan kimia dan fasilitas laboratorium. “Tantangan riset di Indonesia memang besar, tapi kolaborasi adalah kuncinya. Saya percaya bahwa penelitian yang berangkat dari kondisi lokal justru bisa memberi dampak global,” tuturnya.
Riset yang digagasnya juga berkontribusi terhadap Sustainable Development Goals (SDGs), terutama tujuan ke-12 (Responsible Production and Consumption) dan ke-14 (Life Below Water). Dengan pendekatan sirkular yang memanfaatkan hasil samping ikan, Aziz berupaya mengurangi ketergantungan terhadap impor kolagen—yang sebagian besar berasal dari sumber hewani non-halal—sekaligus membuka peluang lahirnya industri kolagen halal dalam negeri.
“Setiap peneliti punya keunikan masing-masing. Teruslah berpikir, berinovasi, dan berkolaborasi. Sekecil apa pun kontribusi kita, pasti akan memberikan manfaat bagi orang lain,” pesannya menutup perbincangan.
Melalui langkah kecil dari laboratorium di kampusnya, Abdul Aziz Jaziri menunjukkan bahwa ilmu, kepedulian lingkungan, dan semangat berinovasi bisa berjalan seiring. Dari limbah yang dianggap tak berguna, ia menyalakan harapan baru bagi masa depan perikanan Indonesia yang berkelanjutan.(Din/Nid/Dht)