Prof. Setyo Widagdo *
Perdamaian antara Israel dan Palestina telah dimulai, ditandai dengan kesepakatan Genjatan Senjata antara Israel dan Hamas kemudian disusul dengan diselenggarakannya KTT Perdamaian di Gaza beberapa hari yang lalu.
Genjatan Senjata diikuti pula dengan penyerahan sandera dari masing-masing pihak, dan juga penarikan pasukan Israel dari Gaza.
Dunia menyambut dengan segenap harapan bahwa genjatan senjata itu akan permanen dan perang benar-benar berhenti, sehingga proses penyelesaian konflik dan perdamaian di Gaza khususnya dan Timur Tengah pada umumnya yang sudah dimulai akan berjalan dengan lancar.
KTT Perdamaian di Gaza yang penandatanganannya disaksikan oleh Presiden AS Donald Trump dan disaksikan pula beberapa Pemimpin Dunia, termasuk Presiden Prabowo merupakan torehan sejarah perdamaian di kawasan Timur Tengah, khususnya di Palestina.
Kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian Sharm El-Sheikh di Mesir, yang bertujuan merumuskan dan menyaksikan penandatanganan kesepakatan perdamaian serta penghentian perang di Gaza memunculkan banyak perhatian baik di dalam negeri maupun dunia internasional.
Dalam kerangka diplomasi Indonesia, langkah ini tidak hanya bersifat simbolis, melainkan mengandung sejumlah makna strategis dan konsekuensi praktis jika diimplementasikan dengan komitmen serius. Tulisan berupa opini ini hendak membahas arti penting kehadiran Prabowo ke Mesir dalam beberapa aspek: politik luar negeri, citra Indonesia, kontribusi dalam perdamaian, dan tantangan yang harus dihadapi.
Tindakan Kongkrit Sebagai Penguatan Politik Luar Negeri Indonesia
Selama ini, Indonesia dikenal sebagai negara dengan konsistensi mendukung kemerdekaan Palestina dan menentang pendudukan. Namun, dukungan tersebut seringkali berbentuk suara diplomatik, kecaman terhadap aksi kekerasan, dan bantuan kemanusiaan. Dengan hadir langsung di KTT perdamaian Gaza, Indonesia menunjukkan bahwa Ia siap untuk “turun ke lapangan” dalam proses perdamaian. Indonesia ingin menunjukkan “aksi nyata” bukan sekedar “bersuara”
Prabowo menyebut bahwa kehadirannya bertujuan menyatakan dukungan dan memberi support terhadap komitmen perdamaian di Gaza. Ia juga menyatakan kesiapan Indonesia mengirim pasukan penjaga perdamaian (peacekeeping) jika diminta oleh pihak-pihak mediator. Pernyataan ini mengubah posisi Indonesia dari sekadar negara pendukung menjadi potensi aktor aktif dalam operasi perdamaian internasional.
Melalui langkah ini, Indonesia menegaskan prinsip “bebas-aktif” dalam diplomasi: tidak berpihak secara membabi buta, tetapi turut mengambil peran di forum perdamaian internasional, sekaligus menjaga martabat bangsa dalam isu yang sangat sensitif di dunia Islam.
Menjadi Jembatan Dunia Islam
Kehadiran seorang pemimpin dari negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, seperti Indonesia di forum perdamaian Gaza membawa bobot simbolik yang kuat. Indonesia memperlihatkan bahwa suara umat Islam global, khususnya negara-negara muslim yang bukan aktor langsung di Timur Tengah, tetap memiliki relevansi dan tanggung jawab moral untuk ikut serta.
Saat Prabowo tiba di Mesir, kedatangan itu diliput secara luas. Setelah penandatanganan, Presiden AS Donald Trump memberi apresiasi kepada Prabowo dan Indonesia atas peran mereka. Pujian semacam itu menunjukkan bahwa kehadiran Indonesia mendapat pengakuan di arena diplomasi global, bukan sekadar sebagai pengamat pasif.
Di dalam negeri, langkah ini bisa memperkuat citra Indonesia sebagai negara yang aktif dalam kerjasama internasional, bukan hanya fokus ke dalam. Bagi negara-negara Islam lain, kehadiran Indonesia sebagai mediator potensial juga menjadi dorongan agar peran Indonesia dalam diplomasi Islam semakin diperhitungkan.
Kontribusi Praktis dalam Proses Perdamaian Gaza
Adanya kesepakatan gencatan senjata, penarikan pasukan Israel, pembebasan sandera, dan rekonstruksi Gaza menjadi poin-poin yang dibahas dalam KTT. Prabowo menyebut bahwa Indonesia akan terlibat dalam pembahasan detail lanjutan atas kesepakatan tersebut.
Secara konkret, kehadiran Indonesia bisa berkontribusi dalam beberapa hal sbb:
- Pemantauan dan implementasi gencatan senjata: apabila Indonesia mengirim pasukan perdamaian, tugas mereka bisa mencakup pengawasan kesepakatan, meredam potensi eskalasi, dan menjaga stabilitas lokal.
- Bantuan kemanusiaan dan rehabilitasi: pengiriman logistik, infrastruktur, pembangunan kembali fasilitas dasar (air, listrik, kesehatan), pelatihan tenaga lokal, dan dukungan teknis dalam rekonstruksi.
- Mekanisme dialog dan mediasi: Indonesia dapat menawarkan diri sebagai pihak penengah atau fasilitator antara pihak-pihak terkait di Gaza, Mesir, maupun mediator internasional.
- Legitimasi regional dan moral: kehadiran negara seperti Indonesia memperkuat legitimasi kesepakatan karena tak hanya berasal dari kekuatan besar, tetapi juga negara-negara Global South yang memiliki kepedulian terhadap keadilan.
Dengan demikian, kehadiran Prabowo bukan hanya “menandatangani” dari jauh, tetapi membuka ruang bagi Indonesia berkontribusi dalam tahapan teknis dan operasional pascaperjanjian.
Dukungan Publik dan Tantangan Politik
Di Indonesia masyarakat sangat sensitif terhadap isu Palestina, kebijakan luar negeri yang dianggap melemahkan atau “berlebihan tunduk” ke kekuatan besar bisa memicu kritik, bahkan tekanan politik. Oleh karena itu hal ini harus menjadi perhatian sekaligus menyikapinya dengan bijaksana oleh Presiden Prabowo.
Harapan masyarakat agar Indonesia tetap tegas terhadap Israel, misalnya menolak normalisasi hubungan tanpa kemerdekaan Palestina harus menjadi agenda utama Presiden Prabowo.
Jangan sekali kali memberikan kesan bahwa Indonesia “menjadi kaki tangan” negara besar jika terlalu dekat dengan agenda AS atau mediator besar.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menjaga keseimbangan: memastikan kehadiran Presiden secara aktif tanpa mengorbankan prinsip kedaulatan dan aspirasi bangsa dalam mendukung kemerdekaan Palestina secara adil.
PENUTUP
Kehadiran Presiden Prabowo di Mesir, menghadiri KTT Perdamaian untuk Gaza, membawa makna lebih dari sekadar simbol diplomasi. Namun sekaligus sebagai penguatan politik luar negeri RI.
Selain itu, Kehadiran Presiden Prabowo juga menandai ambisi Indonesia untuk menjadi aktor perdamaian aktif di dunia internasional, memperkuat citra negara sebagai mediator berkemauan moral, dan membuka peluang untuk kontribusi nyata dalam proses perdamaian Gaza.(*)
*Penulis adalah Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UB – [email protected]