Kanal24, Malang – Dana Moneter Internasional (IMF) kembali mengingatkan bahwa dampak penuh dari kebijakan tarif impor tinggi yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) belum sepenuhnya dirasakan dunia. Meskipun lembaga keuangan global ini menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dan AS tahun 2025, IMF menilai bahwa kesimpulan tentang minimnya dampak tarif terhadap ekonomi dunia masih terlalu dini. Laporan terbaru IMF, World Economic Outlook, yang dirilis pada Selasa (15/10/2025) menyebut bahwa ketegangan dagang dan kebijakan imigrasi yang lebih ketat di AS bisa menimbulkan risiko baru terhadap stabilitas ekonomi global dalam jangka panjang.
Pertumbuhan Global Naik, Tapi Belum Stabil
Dalam laporan tersebut, IMF memperkirakan ekonomi dunia tumbuh sebesar 3,2 persen pada 2025, naik dari proyeksi Juli sebesar 3 persen. Meski demikian, angka ini masih berada di bawah rata-rata pertumbuhan pra-pandemi yang mencapai 3,7 persen. Sementara itu, ekonomi AS diprediksi tumbuh 2 persen tahun ini dan 2,1 persen pada 2026, sedikit meningkat dari proyeksi sebelumnya.
Baca juga:
Bulog Bangun 100 Gudang Baru Senilai Rp5 Triliun
Menurut IMF, salah satu penyebab revisi naik tersebut adalah kebijakan tarif AS yang ternyata lebih kecil dari perkiraan awal. Serangkaian negosiasi dan kesepakatan dagang baru yang dilakukan pemerintahan Donald Trump membuat rata-rata tarif impor AS turun dari level tertinggi pada April lalu, kini berkisar 10 hingga 20 persen untuk sebagian besar mitra dagang.
“Amerika Serikat menegosiasikan kesepakatan dengan berbagai negara dan memberikan banyak pengecualian,” tulis Pierre-Olivier Gourinchas, Kepala Ekonom IMF, dalam unggahan blog resminya. Ia juga mencatat bahwa pelaku bisnis global menunjukkan kemampuan adaptasi cepat, baik dengan mempercepat impor sebelum tarif baru diberlakukan maupun dengan mengalihkan rantai pasokan ke negara lain.
Negara-negara Pilih Menahan Diri
Gourinchas menilai bahwa banyak negara mitra dagang AS sejauh ini menahan diri untuk tidak membalas kebijakan tarif Washington dengan menaikkan bea masuk terhadap produk asal AS. Langkah ini disebut membantu menstabilkan sentimen pasar global, meski ketegangan dagang tetap menjadi ancaman laten.
Namun, ia menegaskan bahwa masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa kebijakan tarif tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan global. “Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa butuh waktu lama sebelum gambaran lengkapnya terlihat,” tulisnya.
Ia juga mengingatkan bahwa para importir di AS pada akhirnya bisa meneruskan beban tarif yang lebih tinggi kepada konsumen dalam negeri, sehingga memicu kenaikan harga dan menekan daya beli masyarakat. Risiko tersebut, menurut IMF, bisa memengaruhi inflasi dan memperlambat pemulihan ekonomi global yang masih rapuh.
Ketegangan Baru AS–China dan Kebijakan Imigrasi
Selain kebijakan tarif, IMF menyoroti meningkatnya tensi antara AS dan China dalam beberapa minggu terakhir. Presiden Trump mengancam akan memberlakukan tarif 100 persen terhadap impor dari China, terutama terkait sengketa ekspor mineral tanah jarang (rare earth) yang menjadi komponen penting dalam industri teknologi tinggi.
Ketegangan ini menambah ketidakpastian di tengah pasar global yang mulai pulih dari gangguan rantai pasokan akibat pandemi dan konflik geopolitik. “Tidak ada jaminan bahwa kesepakatan dagang baru akan bertahan,” kata Gourinchas kepada wartawan.
Selain perang dagang, kebijakan imigrasi yang lebih ketat juga disebut memberi tekanan pada pasar tenaga kerja AS. IMF mencatat penurunan tajam dalam jumlah pekerja kelahiran luar negeri yang berkontribusi pada perekonomian AS. Gourinchas menyebut fenomena ini sebagai “guncangan pasokan negatif” yang berpotensi memperlambat pertumbuhan jangka panjang.
“Kami melihat penurunan sangat tajam pada porsi pekerja kelahiran luar negeri dalam angkatan kerja AS. Ini berkontribusi pada perlambatan ekonomi secara keseluruhan, dan dampaknya tidak hanya dirasakan Amerika Serikat, tetapi juga dunia,” ujarnya.
Risiko Global Masih Membayangi
IMF menegaskan bahwa meski ekonomi global menunjukkan tanda-tanda perbaikan, risiko struktural masih besar. Ketegangan geopolitik, perubahan kebijakan perdagangan, hingga tantangan iklim disebut dapat mengubah arah pemulihan.
Lembaga tersebut mendesak negara-negara untuk menjaga keterbukaan perdagangan internasional dan memperkuat kerja sama multilateral guna mencegah fragmentasi ekonomi dunia. “Peningkatan ketidakpastian kebijakan dapat menurunkan investasi, memperlambat produktivitas, dan memperburuk ketimpangan global,” tulis IMF dalam laporannya.
Dengan dinamika yang terus berubah, IMF menekankan pentingnya respons kebijakan yang fleksibel dan terkoordinasi. Dunia, menurut lembaga itu, kini berada di “persimpangan kebijakan”—antara upaya menjaga pertumbuhan dan menghindari eskalasi konflik ekonomi.
“Pertumbuhan ekonomi yang kuat di Amerika Serikat memang menjadi pendorong global,” tulis Gourinchas menutup laporannya, “namun jika dicapai dengan mengorbankan stabilitas perdagangan internasional, manfaatnya akan bersifat sementara.” (nid)