Kanal24, Malang – Universitas Brawijaya (UB) menegaskan kiprahnya sebagai kampus yang melahirkan gagasan inovatif dalam bidang manajemen keuangan dan tata kelola perusahaan. Hal ini ditunjukkan dengan inovasi Prof. Risna Wijayanti, SE., M.M., Ph.D., memperkenalkan model Business Integrated Financial Model atau BIRAF—sebuah kerangka yang menggabungkan transparansi keuangan, kolaborasi strategis, dan keberlanjutan perusahaan.
Model ini diharapkan menjadi jembatan antara teori keuangan korporasi dan praktik nyata dalam dunia bisnis modern yang menuntut keterbukaan serta tanggung jawab sosial.
Baca juga:
Guru Besar UB Gagas Transformasi Pembiayaan UMKM Melalui Crowdfunding
Konsep Integrasi Keuangan
Gagasan BIRAF lahir dari refleksi panjang Prof. Risna terhadap praktik pelaporan keuangan perusahaan terbuka di Indonesia. Selama bertahun-tahun meneliti bidang keuangan korporasi, ia menemukan bahwa banyak laporan tahunan perusahaan masih bersifat simbolik—sekadar memenuhi kewajiban formal tanpa mencerminkan kondisi dan strategi yang sebenarnya dijalankan.
“Investor seringkali menerima laporan yang tampak rapi, tetapi tidak tahu apakah isi laporan tersebut benar-benar mencerminkan praktik bisnis yang dijalankan,” ujarnya dalam sesi podcast. Dari kegelisahan akademik inilah, BIRAF dirancang untuk menghadirkan sistem pengukuran yang lebih holistik—tidak hanya menilai hasil keuangan, tetapi juga menimbang aspek keberlanjutan, tata kelola, dan legitimasi publik.
BIRAF, kata Prof. Risna, bukan sekadar model struktural, melainkan “kerangka sinergi” antara tata kelola, modal intelektual, dan umpan balik pemangku kepentingan. Pendekatan ini menekankan keterbukaan data, integritas informasi, serta mekanisme feedback yang memungkinkan perusahaan berinteraksi secara langsung dengan publik.
Inti Konsep: Lima Komponen Strategis BIRAF
Model BIRAF terdiri dari lima komponen utama yang dirumuskan berdasarkan kebutuhan dunia bisnis masa kini.
- Baseline Financial (B) — Menekankan pentingnya perusahaan menghasilkan keuntungan dan pertumbuhan yang berkelanjutan sebagai dasar legitimasi di mata investor.
- Integrated Risk (I) — Mengajak perusahaan mempertimbangkan risiko dan keberlanjutan, termasuk dampak lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
- Resiliency (R) — Mendorong kemampuan perusahaan untuk tetap bertahan di tengah perubahan ekonomi dan politik, seperti pandemi COVID-19 atau krisis global.
- Accountability and Assurance (A) — Menjamin bahwa setiap informasi yang disampaikan dalam laporan publik dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan profesional.
- Forward Guidance (F) — Mengharuskan perusahaan bersikap transparan terhadap arah bisnis dan komitmen keberlanjutan di masa depan.
Lima pilar ini menjadi fondasi dari sistem pelaporan dan pengambilan keputusan yang berorientasi pada triple bottom line: people, planet, and profit. Menurut Prof. Risna, inilah bentuk nyata dari upaya akademisi UB dalam mendukung bisnis berintegritas dan berdaya tahan tinggi di tengah ketidakpastian global.
Proses dan Tantangan: Dari Model Lama ke Pendekatan Holistik
Prof. Risna menilai bahwa tantangan terbesar dalam menerapkan model baru seperti BIRAF adalah perubahan paradigma. Model lama yang digunakan banyak perusahaan cenderung menitikberatkan pada data simbolik—misalnya jumlah dewan komisaris atau rasio keuangan tertentu—tanpa mengukur efektivitas peran dan proses di baliknya.
“Selama ini, kita hanya tahu siapa saja dewan komisarisnya, tapi tidak tahu sejauh mana mereka efektif menjalankan fungsi pengawasan,” jelasnya. Dalam BIRAF, efektivitas menjadi ukuran utama. Perusahaan juga diharuskan memiliki sistem umpan balik yang terbuka, di mana masyarakat dan investor dapat memberikan masukan langsung terhadap aktivitas perusahaan.
Selain itu, Prof. Risna menekankan pentingnya menghindari praktik greenwashing—upaya menampilkan citra ramah lingkungan tanpa aksi nyata. “Keberlanjutan itu harus seimbang antara profit dan tanggung jawab sosial. Perusahaan yang benar-benar berkomitmen terhadap masyarakat biasanya justru lebih bertahan lama,” tegasnya.
Strategi dan Harapan ke Depan
Dalam jangka panjang, Prof. Risna berharap BIRAF dapat menjadi panduan nasional dalam memperkuat tata kelola perusahaan publik. Untuk mewujudkan hal tersebut, ia mengusulkan kolaborasi antara akademisi, regulator, dan pelaku bisnis. Regulator diharapkan dapat memperjelas indikator pengungkapan strategis, sementara perusahaan perlu menyadari bahwa keberlanjutan bukan sekadar kewajiban moral, tetapi juga strategi bisnis jangka panjang.
Lebih jauh, Prof. Risna menekankan pentingnya integritas data dan keikhlasan dewan komisaris dalam membuka informasi kepada publik. “Transparansi bukan ancaman, melainkan bentuk tanggung jawab,” ujarnya.
BIRAF, lanjutnya, tidak hanya bermakna sebagai model finansial, tetapi juga memiliki makna personal. Nama BIRAF merupakan singkatan dari nama anak, menantu, dan cucunya—sebuah simbol harapan agar nilai-nilai integritas, konsistensi, dan kinerja unggul juga tertanam dalam kehidupan keluarga.
Menuju Ekosistem Bisnis yang Berkeadaban
Model BIRAF yang dikembangkan Prof. Risna Wijayanti menjadi wujud nyata kontribusi akademisi UB dalam menjawab tantangan etika dan transparansi bisnis modern. Ia menawarkan pendekatan menyeluruh yang menyeimbangkan kinerja keuangan dengan keberlanjutan sosial dan lingkungan.
Dengan semangat sinergi dan tanggung jawab, Prof. Risna berharap BIRAF dapat menjadi inspirasi bagi dunia usaha untuk membangun tata kelola yang adil, terbuka, dan berkeadaban—sebuah refleksi nilai luhur Universitas Brawijaya: membangun ilmu pengetahuan demi kemaslahatan masyarakat luas. (nid)