Kanal24 Malang – Dunia kepolisian memasuki babak baru. Jika dulu operasi intelijen identik dengan penyamaran manusia di lapangan, kini teknologi kecerdasan buatan (AI) sudah mampu mengambil alih peran itu. Di Amerika Serikat (AS), muncul temuan mengejutkan: akun aktivis mahasiswa yang populer ternyata bukan manusia, melainkan persona AI ciptaan aparat penegak hukum.
Fakta ini terungkap lewat investigasi 404 Media bersama Wired. Akun tersebut dilengkapi foto palsu, latar belakang digital, dan gaya komunikasi meyakinkan. Tujuannya bukan sekadar berbagi informasi, melainkan mengawasi gerak-gerik para aktivis di dunia maya. Inilah bukti nyata bagaimana AI mulai digunakan untuk infiltrasi sosial—bukan lagi sebatas alat bantu teknis.
Baca juga:
Strategi Redakan Burnout Bagi Para Caregiver
Overwatch, Senjata Baru Aparat
Perkembangan ini tidak lepas dari kehadiran Massive Blue, perusahaan teknologi berbasis di New York. Produk unggulannya, Overwatch, menawarkan layanan persona digital yang bisa meniru manusia secara detail: latar belakang, bahasa, hingga aksen. Dengan kontrak senilai ratusan ribu dolar AS, pemerintah daerah di Arizona sudah memanfaatkannya untuk melacak perdagangan manusia, narkotika, hingga predator seksual. Overwatch berbeda dari AI kepolisian pada umumnya. Jika sebagian kota di AS dan Eropa hanya memakai AI untuk penulisan laporan kriminal atau analisis data, Overwatch bergerak aktif. Ia bisa menjalin percakapan slang, masuk ke forum daring, bahkan mengelabui target layaknya manusia. Hasil uji lapangan menunjukkan, gaya komunikasinya tak bisa dibedakan dengan orang sungguhan.
Risiko Mission Creep
Namun, di balik kecanggihan itu, muncul ancaman serius. Overwatch membuka jalan bagi praktik mission creep: teknologi yang awalnya dirancang untuk memerangi kriminalitas justru dipakai mengawasi masyarakat sipil. Aktivis lingkungan, anti-perang, hingga pendukung Palestina berisiko masuk radar hanya karena pandangan politik mereka. Potensi penyalahgunaan ini mengingatkan pada peringatan Edward Snowden soal praktik pengawasan massal NSA. Bedanya, kini penyamaran AI menambah lapisan baru: publik tak lagi bisa membedakan apakah akun di hadapannya manusia atau mesin.
Pertarungan Keamanan vs Kebebasan
Eropa sudah menetapkan aturan ketat. AI yang bisa melakukan pengawasan biometrik, pemolisian prediktif, atau penyusupan digital dikategorikan berisiko tinggi dan dilarang. Sebaliknya, di AS regulasi masih longgar. Aparat maupun kontraktor swasta bisa bersembunyi di balik dalih “keamanan nasional”. Indonesia sendiri belum tersentuh teknologi ini. Namun, jika berkaca pada tren global, cepat atau lambat AI semacam Overwatch bisa masuk. Kegagapan regulasi menjadi ancaman. Kasus pemblokiran Worldcoin, misalnya, menunjukkan bagaimana pemerintah lebih sering bereaksi setelah masalah muncul.
Jalan Panjang Regulasi
Overwatch menjadi peringatan bahwa AI dalam kepolisian bukan lagi wacana masa depan. Ia sudah hadir, bekerja diam-diam, dan siap berkembang lebih jauh. Pertanyaannya, siapa yang menjamin AI ini tidak digunakan melawan publik yang kritis? Debat antara keamanan publik dan kebebasan sipil kembali mengemuka. Jika regulasi tak segera dirancang, maka ruang digital berpotensi jadi ladang pengawasan total—di mana identitas, interaksi, dan kebebasan kita selalu diawasi intel yang bahkan bukan manusia. (nvl)









