Kanal24, Malang – Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (FP UB) menegaskan pentingnya arah baru dalam pembangunan pertanian Indonesia yang tidak hanya menitikberatkan pada produktivitas, tetapi juga pada keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan petani. Pesan itu disampaikan dalam Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke-65 Fakultas Pertanian yang mengusung tema “Membangun Masa Depan Hijau: Pertanian Modern, SDGs, dan Kemandirian Pangan” pada Selasa (5/11/2025).
Dalam kesempatan tersebut, FP UB meluncurkan Outlook Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan Nasional, sebagai bentuk kontribusi akademik untuk memberikan rekomendasi strategis bagi pemerintah dalam mengelola investasi besar di sektor pangan.
Dekan FP UB Prof. Dr. Ir. M. Purnomo, M.Si., Ph.D. menegaskan bahwa isu ketahanan pangan saat ini berada di posisi yang sangat strategis dan menjadi perhatian nasional, bahkan hingga level presiden. Namun, menurutnya, besarnya anggaran dan sumber daya yang telah digerakkan perlu dikawal dengan evaluasi yang matang.
“Ketahanan pangan kini sangat strategis, bahkan jadi isu yang dibicarakan di mana-mana. Tapi dengan anggaran dan SDM sebesar itu, kita harus hati-hati agar hasilnya signifikan dan tidak stagnan,” ujar Prof. Purnomo.
Ia menilai, berbagai capaian seperti swasembada beras dan jagung memang menunjukkan arah yang baik, namun belum sepenuhnya sebanding dengan investasi besar yang digelontorkan pemerintah.
“Kalau hasilnya sama atau hanya naik sedikit, berarti ada yang harus dibenahi — bisa di aspek teknologi, kelembagaan, atau koordinasi antar lembaga,” tambahnya.
Prof. Purnomo juga menyoroti pentingnya penguatan SDM dan ekosistem industri pertanian yang menarik bagi generasi muda. Ia menyebut, regenerasi petani tidak cukup dengan pelatihan semata, tetapi harus diikuti oleh insentif ekonomi yang menjanjikan.
“Anak muda tidak perlu disuruh kalau peluangnya jelas. Kalau ekosistem industri pertanian memberikan margin yang bagus, mereka pasti datang sendiri. Ada gula, ada semut,” katanya.
Selain SDM, kelembagaan pertanian juga menjadi perhatian. Menurutnya, masih banyak lembaga tani yang beroperasi dalam skala kecil, sementara model korporasi pertanian yang lebih efisien belum banyak berkembang secara nasional.
“Ada contoh baik di beberapa daerah, tapi belum menjadi sistem nasional. Ini PR besar kalau kita ingin pertanian yang kuat dan mandiri,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan FP UB, Dr. Mochammad Syamsulhadi, S.P., M.P., menyoroti perlunya refleksi sejarah atas kebijakan pangan nasional. Ia mengingatkan agar program ketahanan pangan tidak mengulang kesalahan masa lalu.
“Kita pernah swasembada pangan tahun 1986, tapi itu hanya sekali. Setelah itu produksi menurun karena kita lupa memperhatikan kesehatan agroekosistem dan kesuburan tanah,” ujarnya.
Syamsulhadi menegaskan bahwa banyak program pangan saat ini masih meniru pola lama tanpa mempertimbangkan degradasi lahan yang terus meluas.
“Produksi memang meningkat, tapi tanahnya rusak, ekosistemnya terganggu. Kita tidak boleh hanya mengejar hasil tanpa memikirkan keberlanjutannya,” tegasnya.
Menurutnya, Outlook yang disusun FP UB diharapkan menjadi panduan bagi pembuat kebijakan agar tidak hanya fokus pada target swasembada, tetapi juga memastikan keberlanjutan lingkungan dan peran manusia di dalamnya.
“Program boleh sama, tapi jangan lupa manusianya disentuh, tanahnya dijaga. Fakultas Pertanian punya SDM dan kapasitas yang siap memberi masukan dan konsep konkret untuk pembangunan pertanian yang berkelanjutan,” pungkasnya.
Melalui Outlook Ketahanan Pangan ini, Fakultas Pertanian UB menegaskan komitmennya sebagai pusat keilmuan dan inovasi pertanian yang siap menjadi mitra strategis pemerintah dalam memperkuat kedaulatan pangan nasional, menjaga keberlanjutan ekosistem, dan memperkuat kontribusi Indonesia menuju pertanian modern yang berdaya saing global.(Din/Pgh)










