Setyo Widagdo*
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Setiap tahun menjelang peringatan hari pahlawan 10 November, selalu terjadi diskursus soal pemberian gelar pahlawan nasional yang akan diberikan oleh Pemerintah kepada orang-orang yang dianggap berjasa kepada negara.
Tahun 2025 ini Pemerintah menyerahkan daftar calon yang terdiri dari 49 nama yang akan diajukan untuk gelar Pahlawan Nasional, dan pengumuman resmi dijadwalkan 10 November 2025.
Namun tahun 2025 ini, rencana pemberian gelar pahlawan nasional telah memicu gelombang kontroversi masif dan membelah opini publik yang mempertanyakan kriteria, proses dan bahkan mempertanyakan cara bangsa ini menafsirkan sejarahnya sendiri.
Kontroversi itu terjadi ketika nama-nama tokoh yang diusulkan ke Presiden, muncul nama Presiden Ke 2 RI Soeharto sebagai calon penerima gelar Pahlawan Nasional. Sebetulnya kemunculan nama Soeharto ini bukan yang pertama kali, namun kali ini usulan yang didukung oleh ormas keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah dan beberapa polisi yang menyoroti jasa-jasa Soeharto, justru memicu penolakan yang lebih luas.
Pertarungan Memori Kolektif
Polemik terhadap sosok Soeharto bukanlah hal baru, tetapi kemunculannya kembali sebagai calon penerima gelar pahlawan nasional memicu pertarungan memori kolektif yang cukup tajam.
Bagi para pendukung, narasi yang diucapkan adalah fokus pada jasa dan kontribusi Soeharto terhadap pembangunan ekonomi selama 32 tahun kekuasaannya, demikian juga stabilitas politik, serta peran pentingnya dalam pembangunan militer.
Bagi kelompok pendukung ini, penghargaan gelar pahlawan nasional adalah pengakuan atas penganbdian yang panjang kepada negara.
Sementara itu, bagi kelompok penolak, seperti biasa didominasi oleh aktivis dan pendukung HAM, serta korban HAM di masa Orde Baru, selalau menggaris bawahi rekam jejak kelam dan pelanggaran HAM berat yang terjadi dibawah rezim Soeharto. Demikian pula isu tentang KKN, represi terhadap kekebasan berpendapat, pembungkaman terhadap pers, penembakan misterius (petrus), kasus Tanjung Priuk dll…dll.. adalah poin utama penolakan kelompok ini.
Bagi kelompok penolak ini, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto adalah upaya “pemutihan sejarah” yang dianggap melukai amanat reformasi dan melukai hati para korban HAM.
Kriteria Pahlawan
Ketika yang diusulkan sebgai penerima gelar pahlawan nasional selain Soeharto adalah nama-nama tokoh pembela HAM dan pejuang prularisme seperti Gus Dur, bahkan korban HAM itu bsendiri, yaitu Marsinah, maka terjadi ironisme dan dikotomi yang membingungkan. Bagaimana mungkin pelanggar HAM berat bersama-sama menerima gelar pahlawan nasional dengan pejuang dan korban HAM ?
Oleh karena itu persoalan pemberian gelar pahlawan ini membawa kembali perdebatan soal kriteria, siapa sebenarnya yang layak diberi gelar Pahlawan Nasional ?
UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, salah satu syarat umumnya adalah: “Setia dan tidak mengkhianati Bangsa dan Negara serta tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.”
Meskipun Soeharto tidak pernah divonis bersalah, namun catatan sejarah kelam Orde Baru menjadi sandungan moral yang fundamental. Oleh sebab itu, menetapkan seseorang menjadi Pahlawan Nasional, hendaknya harus melihat fakta sejarah secara utuh.
Pada akhirnya soal polemik pro kontra pemberian gelar Pahlawan ini, keputusan akhirnya ada pada Presiden setelah mendengarkan rekomendasi dari Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Kehormatan.
Bagi Presiden akan menjadi beban psikologis tersendiri jika Soeharto masih direkomendasikan untuk diberi gelar Pahlawan, sebab Presiden adalah mantan mantu Soeharto.
Pada akhirnya, kontroversi Gelar Pahlawan Nasional 2025 bukan hanya soal nama seorang tokoh, melainkan tentang bagaimana Indonesia memilih untuk mengingat masa lalunya. Apakah bangsa ini akan memilih narasi yang menenangkan (rekonsiliasi tanpa keadilan) atau narasi yang menegakkan keadilan, bahkan jika itu berarti harus menerima kenyataan pahit dari sejarahnya sendiri? Keputusan ini akan menjadi ujian penting bagi komitmen negara terhadap reformasi dan nilai-nilai HAM menjelang hari Pahlawan.
Barangkali Presiden perlu mendengar ungkapan-ungkapan masyarakat sebelum menetapkan gelar Pahlawan Nasional kepada para tokoh, antara lain :
Pemerintah perlu transparan dalam penilaian, dan masyarakat berhak mempertanyakan.
Gelar pahlawan harus disertai tanggung jawab moral, bukan sekadar administratif.
Pahlawan bukan hanya tentang jasa, tapi juga tentang siapa yang berhak menulis sejarah.
SELAMAT MENYAMBUT HARI PAHLAWAN
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya










