Oleh: Tri Handri Watinah
Kanal24, Malang – “Di dunia yang seringkali terasa tanpa harapan, membutuhkan harapan dari anak-anak, lebih dari sebelumnya,” pesan Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, bergema di tengah dunia yang tengah diguncang konflik dan penderitaan. Namun, di Sudan, harapan itu terasa semakin memudar. Tagar #AllEyesOnSudan menjadi simbol kepedulian global terhadap negara yang kini berada di ambang krisis kemanusiaan terburuk dalam sejarah modernnya.
Konflik yang berkecamuk antara Sudanese Armed Forces (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF) telah menjerumuskan Sudan ke dalam kekacauan multidimensi — meliputi kelaparan ekstrem, wabah penyakit, hingga kehancuran ekonomi dan moral masyarakat. Direktur Operasi Darurat UNICEF, Lucia Elmi, menegaskan bahwa “kombinasi mematikan antara kelaparan, penyakit, dan pengungsian menempatkan jutaan anak dalam risiko.”
Baca juga:
Indonesia Jangan Terjebak Skenario AS Soal Pasukan Stabilisasi Internasional Gaza
Darurat Pangan dan Kesehatan yang Kian Mengerikan
UNICEF melaporkan lebih dari 3,4 juta anak di bawah usia lima tahun berada dalam risiko tinggi tertular penyakit epidemi. Ratusan ribu di antaranya mengalami Severe Acute Malnutrition (SAM), sementara ribuan lainnya meninggal akibat kelaparan dan penyakit menular seperti diare dan infeksi. Sudan kini menghadapi ancaman ganda berupa kolera, malaria, campak, rubella, dan penyakit lainnya yang kian sulit dikendalikan karena lemahnya layanan kesehatan.
Krisis ini kian diperparah oleh kerusakan infrastruktur vital. Sekitar 80 persen fasilitas kesehatan telah hancur, sedangkan sisanya beroperasi dengan sumber daya sangat terbatas. Berdasarkan data Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC), sekitar 21,2 juta warga Sudan — hampir setengah dari total populasi — kini menghadapi kerawanan pangan akut. Komite Peninjau Kelaparan IPC (FRC) bahkan mengonfirmasi bahwa kelaparan (IPC Fase 5) telah terjadi di El Fasher dan Kadugli, dua kota besar yang kini menjadi simbol keputusasaan.
Tingkat Global Acute Malnutrition (GAM) mencapai angka 38–75 persen di El Fasher dan 29 persen di Kadugli, melewati ambang batas darurat. Diperkirakan 7,5 juta orang akan mengalami kerawanan pangan akut pada pertengahan 2026, sementara lebih dari dua juta anak berisiko menderita gizi buruk akut. World Food Programme (WFP) memperkirakan kebutuhan dana mencapai US$662 juta per bulan untuk menjangkau delapan juta orang yang membutuhkan bantuan segera. Namun, di tengah meningkatnya kekerasan, penyaluran bantuan menjadi tantangan tersendiri.
Pembunuhan Massal dan Kekerasan Seksual yang Tak Terbayangkan
Krisis kemanusiaan di Sudan bukan hanya soal kelaparan dan penyakit, tetapi juga tragedi kemanusiaan yang lebih kelam: pembunuhan massal, kekerasan seksual, dan penjarahan. Kantor Kejaksaan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada awal November menyatakan bahwa terdapat bukti kuat terjadinya kejahatan perang, termasuk pemerkosaan massal yang dilakukan oleh pasukan RSF terhadap warga sipil.
Kesaksian para penyintas memperlihatkan potret kegelapan yang mengoyak hati nurani dunia. Seorang ibu di kamp pengungsian Tawila, Darfur, menceritakan, “Pemerkosaan itu dilakukan bergiliran, di depan umum, dan tidak ada yang bisa menghentikannya.” Kekerasan seksual digunakan sebagai senjata untuk menghancurkan martabat manusia. Perempuan dan anak perempuan dari kelompok etnis tertentu menjadi sasaran terencana, meninggalkan trauma berkepanjangan yang mungkin tak akan pernah pulih.
Dunia dalam Dilema dan Tanggung Jawab yang Terlupakan
Pertanyaan besar kini menggema: di mana peran negara-negara besar dalam menghentikan krisis ini? Alih-alih menjadi penengah, beberapa kekuatan global justru diduga memperpanjang konflik melalui dukungan senjata. Laporan investigatif menyebut Uni Emirat Arab menyalurkan senjata, termasuk drone buatan Tiongkok, kepada pasukan RSF. Sementara itu, Mesir, Qatar, dan Iran mendukung SAF, menjadikan perang saudara ini sebagai ajang pertarungan kepentingan regional.
Keterlibatan banyak pihak menciptakan jaring konflik yang rumit, memperpanjang penderitaan rakyat Sudan dan menjauhkan harapan akan perdamaian. Dunia internasional memang telah mengirim bantuan pangan dan medis melalui PBB, namun tanpa gencatan senjata, semua upaya kemanusiaan hanya menjadi tambal sulam di tengah lautan penderitaan.
Lebih dari sekadar tragedi nasional, krisis Sudan kini menjadi cermin kegagalan moral global. Ia menunjukkan betapa rapuhnya komitmen dunia terhadap perdamaian dan keadilan. Dalam konteks Sustainable Development Goals (SDGs), konflik ini menjadi pengingat pahit: tanpa perdamaian, tidak ada pembangunan berkelanjutan yang mungkin dicapai.
Refleksi: Sudan dan Seruan untuk Nurani Dunia
Krisis di Sudan bukan hanya persoalan politik atau ekonomi — ini adalah tragedi kemanusiaan yang menuntut empati, tanggung jawab, dan aksi nyata dari dunia internasional. Tagar #AllEyesOnSudan seharusnya tidak berhenti sebagai tren media sosial, melainkan menjadi panggilan global untuk menyelamatkan kehidupan yang tersisa di tengah reruntuhan.
Perdamaian tidak bisa ditunda lebih lama. Ketika anak-anak Sudan berjuang untuk hidup di tengah kelaparan dan kekerasan, dunia seharusnya tidak berpaling. Sebab, seperti kata Guterres, “Harapan umat manusia kini bergantung pada masa depan anak-anaknya.”










