Setyo Widagdo*
Mahkamah Konstitusi (MK), melalui putusan No 114/PUU-XXIII/2025 menegas kan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian,artinya Polisi aktif tidak boleh lagi menjabat di jabatan sipil.
Putusan MK tersebut mengejutkan bukan hanya Kepolisian, tetapi juga mengejutkan para pakar hukum yang saat ini berada di Komite Reformasi Kepolisian, serta mengejutkan jajaran birokrasi, sebab terdapat kurang lebih 4000 perwira Polisi aktif yang sekarang ini menjabat di jabatan sipil. Jumlah yang cukup besar.
Implikasi utama Putusan MK ini terhadap birokrasi adalah penegasan pemisahan yang tegas antara ranah sipil dan aparat keamanan, khususnya terkait penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil.
Putusan ini mengabulkan permohonan uji materi terhadap frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).
Penguatan Supremasi Sipil dan Reformasi Birokrasi
Putusan ini dilihat sebagai langkah maju yang signifikan dalam agenda reformasi birokrasi dan penguatan supremasi sipil pasca-Reformasi 1998, namun Putusan MK ini juga menimbulkan permasalahan, yakni mau di kemanakan 4000 lebih perwira Polri tersbut ?
MK menegaskan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Hal ini menghilangkan celah hukum yang memungkinkan perwira aktif menjabat posisi sipil dengan dalih penugasan Kapolri.
Putusan MK ini juga bertujuan mencegah terjadinya dualisme otoritas dan konflik kepentingan yang akan mengaburkan batas antara fungsi sipil (pelayanan publik) dan fungsi keamanan (penegakan hukum).
Selain itu, kehadiran Polri aktif di jajaran birokrasi dapat membawa logika komando yang bertentangan dengan prinsip pelayanan publik
Penguatan Profesionalisme Aparatur Sipil Negara (ASN)
Implikasi putusan ini secara langsung memberikan peluang yang lebih adil bagi ASN karier, sebab dengan dibatasinya penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil, arena kompetisi untuk mengisi jabatan manajerial dan non manajerial sipil kembali terbuka luas bagi ASN dan profesional sipil yang kompeten. Ini diharapkan dapat mengurangi rasa ketidakadilan yang dirasakan ASN ketika posisi strategis mereka diisi oleh personel aktif dari institusi lain.
Birokrasi sipil akan lebih fokus pada prinsip profesionalisme dan pelayanan publik, di mana jabatan diisi berdasarkan kualifikasi, pengalaman, dan kompetensi sipil, bukan semata-mata penugasan dari institusi keamanan.
Putusan MK ini tentu menimbulkan konsekuensi bagi anggota Polri aktif yang saat ini menduduki jabatan sipil di kementerian, lembaga, atau instansi lain di luar struktur Polri (seperti yang ditemukan di KPK, BSSN, KKP, Kemenkumham, dll.).
Implikasi Terhadap Polri Aktif Yang Sedang Menjabat Di Jabatan Sipil
Kewajiban Mengundurkan Diri/Pensiun untuk tetap menjabat sebagai anggota Polri aktif tersebut kini harus memilih untuk mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian untuk beralih status sepenuhnya menjadi ASN atau profesional sipil.
Pemerintah dan instansi terkait perlu segera menyusun kebijakan transisi yang jelas untuk memastikan fungsi-fungsi di jabatan sipil yang ditinggalkan tidak terganggu dan dapat segera diisi oleh ASN kompeten melalui mekanisme manajemen kepegawaian yang berlaku.
Secara keseluruhan, putusan MK ini adalah koreksi hukum yang bertujuan untuk memulihkan batas yang jelas antara fungsi sipil dan fungsi dan fungsi keamanan dalam kerangka negara demokrasi, sekaligus memperkuat fondasi profesionalisme birokrasi sipil di Indonesia.
Sementara itu tanggapan Pemerintah dan Polri terhadap Putusan MK ini seperti biasa sangat normatif dan sangat formal: menghormati putusan tersebut dan siap melaksanakan, namun apakah akan segera dilaksanakan, wallahu ‘alam bi shawab.
Memang sudah seharusnya jika Pemerintah dan Polri menghormati putusan MK ini, dan akan patuh untuk melaksanakannya, karena putusan MK adalah bersifat final and binding, final dan mengikat, sehingga wajib ditaati, jika tidak dapat dikatakan membangkang terhadap konstitusi.
* Penulis adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya – [email protected]









