Kanal24, Malang – Upaya memperkuat pemahaman publik mengenai tata kelola industri ekstraktif dan urgensi transparansi menjadi latar belakang utama terselenggaranya Extractive Transparency Day 2025, sebuah forum dialog lintas sektor yang diadakan oleh Kementerian ESDM, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, serta EITI Indonesia. Acara ini digelar pada Kamis (20/11/2025) di Auditorium Gedung F FEB UB sebagai ruang kolaborasi antara mahasiswa, pemerintah, akademisi, dan perusahaan ekstraktif untuk membangun ekosistem tata kelola yang lebih akuntabel.
Membangun Ruang Dialog untuk Transparansi
Subkoordinator Integrasi Data Pusdatin ESDM sekaligus perwakilan Sekretariat EITI Indonesia, Theodorus Pandhu Bhaskoro, menegaskan bahwa acara ini merupakan agenda reguler yang bertujuan menghubungkan pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, serta perusahaan.
Baca juga:
FEB UB Dukung Keberlanjutan PJT I lewat Penguatan Manajemen Aset Era Digital

“Kami berusaha menggaet atensi mahasiswa dan masyarakat untuk membangun forum komunikasi sebagai sarana transparansi, terutama terkait data industri ekstraktif yang sering menjadi polemik,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa mahasiswa adalah target utama karena berperan sebagai agen perubahan. Melalui dialog terbuka ini, mahasiswa diharapkan memperoleh perspektif yang lebih komprehensif tentang proses bisnis sektor energi dan pertambangan.
Edukasi dan Akses Informasi sebagai Fondasi Tata Kelola
Theodorus menambahkan bahwa benefit utama dari acara ini adalah penyediaan informasi dan edukasi berbasis data.
“Harapannya mahasiswa lebih terinformasi dan memahami prinsip dasar industri ekstraktif, khususnya terkait transparansi untuk kemaslahatan masyarakat,” jelasnya.
Forum ini melibatkan kolaborasi lintas lembaga, termasuk Kementerian Keuangan, NGO, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya.

Governansi dan Konsekuensi Ekonomi
Dekan FEB UB, Dr. Abdul Ghofar, SE., M.Si., DBA., Ak., menyoroti keterkaitan erat antara tata kelola, sektor ekstraksi, dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan survei Natural Resources Governance Institute, negara kaya sumber daya alam cenderung berisiko mengalami tingkat kemiskinan ekstrem apabila kualitas governansinya rendah.
“Jika governansi baik, penduduk miskin ekstrem tak lebih dari 7 persen. Tetapi jika buruk, masyarakat tetap miskin meski negara kaya sumber daya alam,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa akses masyarakat lokal terhadap rantai pasok perusahaan tambang masih minim akibat keterbatasan skill dan teknologi, sehingga trickle down effect sering tidak terjadi.
Acara ini bertujuan menjadi forum reguler penyedia dialog terbuka mengenai tata kelola industri ekstraktif di Indonesia. Kolaborasi lintas aktor diharapkan mampu mendorong keterbukaan data, peningkatan kapasitas masyarakat, dan perbaikan ekosistem industri agar lebih inklusif. (nid/tia)









