Kanal24, Malang – Di balik perjalanan panjang demokrasi Indonesia, terselip kegelisahan tentang siapa sebenarnya pemegang otoritas sah dalam menafsirkan konstitusi. Ketiadaan rujukan tunggal risalah amandemen UUD 1945 selama ini membuka ruang multi-tafsir dan tarik-menarik kepentingan politik.
Menjawab situasi itu, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) bekerja sama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Menempatkan Risalah Amandemen UUD NRI Tahun 1945 sebagai Rujukan Konstitusional: Mengurai Makna Konstitusi dalam Tinjauan Hukum dan Akademik”, Senin (24/11/2025). Kegiatan ini menjadi ruang dialog akademik penting untuk menegaskan urgensi risalah amandemen UUD 1945 sebagai sumber primer penafsiran konstitusi dan referensi penelitian akademis.
Hadir sebagai pembicara antara lain Dr. Wachid Nugroho S.IP., M.IP. (Kepala Biro Persidangan dan Pemasyarakatan Konstitusi Setjen MPR RI), Dekan FH UB Dr. Aan Widiarto, SH., M.Hum., Ketua Kompartemen Hukum Tata Negara FH UB Ibnu Sam Widodo, SH., MH., Guru Besar FH UB Prof. Dr. Fadli SH., M.Hum., Pakar Hukum Tata Negara FH UB Dr. Dhiā Al-‘Uyun SH., MH., dan Dr. Ngesti Dwi Prasetyo SH., M.Hum.
Risalah Amandemen sebagai Sumber Primer Penafsiran Konstitusi
Dekan FH UB, Dr. Aan Widiarto, SH., M.Hum., menekankan pentingnya risalah pembahasan perubahan UUD 1945 sebagai dokumen monumental yang harus dibumikan untuk menciptakan pemahaman konstitusi yang utuh, baik di ranah akademik maupun praktik bernegara. Menurutnya, risalah tersebut memegang peranan penting dalam pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK), karena menjadi dasar penafsiran atas naskah konstitusi.
“Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang itu batu ujinya dari penafsiran UUD 1945 berdasarkan pembahasan-pembahasannya. Risalah ini akan bermakna ketika bisa diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.

Aan menegaskan, akses terhadap risalah resmi amandemen akan membuka kesempatan luas bagi mahasiswa dan akademisi untuk melakukan kajian ilmiah berbasis data autentik, tanpa harus datang ke Jakarta dan mencari arsip secara manual. Kehadiran MPR RI di FH UB yang menyerahkan naskah fisik risalah amandemen menjadi langkah konkret memperluas akses pengetahuan.
“Tadi juga ada diskusi menarik tentang ide agar MPR menjadi lembaga yang mensahihkan risalah-risalah yang beredar di masyarakat. Di sinilah pentingnya versi resmi negara yang punya legalitas. Dengan diterbitkan dan disebarluaskannya risalah, akan menjernihkan ketidakharmonisan naskah yang selama ini beredar,” tegasnya.
Dalam perspektif demokrasi, Aan menyatakan bahwa perbedaan tafsir adalah hal yang wajar sebagai ruang tumbuhnya musyawarah. Namun, menurutnya, harus ada kepastian versi resmi agar tidak terjadi penyimpangan historis dan akademik. “Jangan sampai kita berubah tapi tidak tahu yang dulu, itu namanya ngawur. Kalau dulu A, sekarang B, harus sadar ada progres, bukan menafsir tanpa dasar,” tambahnya.
Buka Transparansi dan Perkuat Arah Transformasi Digital Risalah
Ketua Kompartemen Hukum Tata Negara FH UB, Ibnu Sam Widodo, SH., MH., menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan upaya untuk memperkenalkan kembali bahwa MPR RI memiliki risalah asli amandemen UUD 1945, yang selama ini kurang diketahui publik dan akademisi. Menurutnya, selama ini banyak penelitian mengacu pada dokumen yang diterbitkan MK, padahal lembaga yang berwenang mengubah UUD adalah MPR.
“Original intens perubahan UUD itu yang selama ini dijadikan rujukan adalah naskah yang dipublis MK, padahal MPR juga punya. FGD ini adalah sosialisasi bahwa MPR punya dokumen itu dan harus dijadikan referensi,” katanya.

Ibnu juga mengungkapkan bahwa FH UB dipilih sebagai satu dari tiga kampus penyelenggara FGD nasional di akhir 2025, selain UNS dan Universitas Udayana, karena hubungan akademik yang dekat serta kontribusi dosen FH UB sebagai staf ahli MPR.
Terkait isu interpretasi politik yang berpotensi melemahkan demokrasi, Ibnu menilai bahwa hal tersebut tidak terhindarkan karena amandemen adalah produk politik sekaligus hukum. Ia menerangkan, selama kebutuhan akademik belum bertemu dengan kesepakatan politik, amandemen kelima tidak akan terlaksana.
“Ini bukan soal harmonisasi peraturan, tapi soal kesepakatan politik. Sejak amandemen keempat tahun 2002, akademisi sudah menyusun poin perubahan, tapi sampai hari ini belum menemukan titik ideal karena kepentingan politik,” tegasnya.
Sementara itu Kepala Biro Persidangan dan Pemasyarakatan Konstitusi Setjen MPR RI, Dr. Wachid Nugroho, menambahkan bahwa FGD ini menjadi langkah awal penyusunan peta transformasi penyajian risalah agar lebih mudah diakses publik. MPR RI, kata Wachid, sedang mengembangkan digitalisasi risalah sidang lengkap sejak konstituante, yang dapat diakses perguruan tinggi melalui sistem login khusus.
“Kita ingin risalah amandemen UUD 1945 menjadi pegangan primer penafsiran konstitusi. Usulan transformasi berbasis tema seperti pemilihan presiden, hubungan lembaga negara, dan sebagainya sangat baik. Ini akan memudahkan akademisi membaca perkembangan ketatanegaraan,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa digitalisasi risalah akan menjadi sumber sejarah baru serta batasan interpretasi agar penafsiran konstitusi tetap sesuai konteks pembahasan aslinya. “Ini bukan sekadar dokumen administratif, tapi punya posisi luar biasa bagi pengambilan kebijakan. Targetnya ada tiga: perbaikan bentuk, sistem, dan metodologi,” pungkasnya.
Akses Publik dan Keberlanjutan
Dalam FGD tersebut, naskah fisik risalah amandemen resmi diserahkan kepada FH UB dan akan tersedia di perpustakaan untuk umum. Selain hard copy, akses digital juga akan dibagikan melalui tautan yang dapat digunakan masyarakat luas. FGD ini diharapkan membuka kesadaran publik bahwa proses amandemen konstitusi adalah proses demokratis yang harus dapat dipertanggungjawabkan.
“Harapannya, ketika suatu saat amandemen kelima benar-benar dilaksanakan, masyarakat bisa terlibat memberi masukan,” kata Ibnu Sam.
Sejalan dengan itu, FH UB menyatakan komitmennya menjadikan risalah sebagai rujukan akademik dalam skripsi, tesis, dan disertasi, serta forum kajian lanjutan.
FGD ditutup dengan penyerahan dokumen Risalah Amandemen UUD 1945 oleh MPR RI ke FH UB yang menjadi wujud dari kesepahaman bahwa konstitusi adalah dokumen hidup (living constitution) yang harus dibaca dengan kesadaran sejarah dan partisipasi publik agar tidak menjadi teks mati.(Din)










