oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Negosiasi adalah cara seseorang untuk meyakinkan atas sesuatu pada orang lain agar apa yang menjadi kepentingan dirinya dapat diterima olrh orang lain. Salah satu dari tujuan komunikasi adalah selain menyampaikan suatu pesan, juga meyakinkan dan mengajak orang lain agar sebagaimana yang dimaksud oleh komunikator. Demikian pengertian tujuan komunikasi dalam pendekatan transmisional. Negosiasi adalah cara seseorang menawarkan ide dan pikirannya agar dapat diterima oleh orang lain. Komunikasi dipahami sebagai upaya untuk saling melakukan pengaruh, negosiasi kepentingan dan pengaruh antar manusia.
Menegosiasikan ide atau pemikiran tentu tidaklah semudah menegosiasikan barang. Dalam negosiasi ide atau pikiran yang bersifat abstrak membutuhkan kehadiran kecerdasan komunikasi dalam berinteraksi dengan orang lain dengan memahami dan berempati padanya.
Dalam komunikasi negosiasi tidak hanya dibutuhkan kecerdasan rasional namun juga kecerdasan spiritual atau kesadaran hati untuk memahami suatu konsepsi atau pemikiran, sehingga seseorang dapat menentukan sikap dan kebijaksaan dalam melakukan proses komunikasi negosiasi, terkait dengan pesan komunikasi yang akan diproduksi ataupun kesediaan dalam menerima pesan, baik oleh negosiator atau partisipan komunikasi lainnya.
Komunikasi profetik memberikan arahan tentang konsep negosiasi ini melalui indikasi atas pesan ketuhanan dalam teks Firman Allah swt tentang larangan tidak boleh ada paksaan untuk memasuki agama. Sebagaimana disebutkan dalam FirmanNya :
لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah, Ayat 256)
Secara cerdas, ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini terkait dengan kekuatan pesan agama yang telah jelas kebenarannya dari Allah swt. Ayat ini menjelaskan bahwa karena agama ini telah jelas dan terang benderang yaitu memiliki ide dan konsep yang sangat sesuai dengan akal rasionalitas dan mampu menentramkan serta memuaskan hati. Seluruh ajarannya sesuai dengan kebutuhan fitrah manusia dan memberikan solusi yang sangat tepat untuk menyelesaikan berbagai persoalan masa depan, serta presisif dalam menjelaskan fenomena kehidupan baik yang telah berlalu maupun masa depan yang akan terjadi. Maka jika sudah sedemikian terang benderang, cetho welo welo, lalu buat apa dipaksakan. Harusnya seseorang yang memiliki kecerdasan dan akal pikiran dapat menerima agama ini dengan suka rela tanpa paksaan.
Jadi ayat tersebut tidaklah berbicara tentang persoalan toleransi dalam beragama. Namun ayat ini sebenarnya ingin memberikan arahan bahwa haruslah setiap orang yang berakal (sehat) menerima agama ini dan segala aturannya dengan suka rela penuh ketaatan dan ketundukan tanpa perlu susah-susah berwacana dan melakukan perdebatan yang menguras energi hanya dengan maksud mereduksi ajaran. Serta ayat ini sekaligus sebagai sindiran kepada mereka yang berakal namun belum tidak bersedia menerima kebenaran ajaran agama islam ini. Jika semuanya telah jelas kebenarannya, lalu mengapa masih perlu dipaksa?
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam tafsir ibnu katsir atas peristiwa yang mendasari turunnya ayat 256 dari surat albaqarah ini (asbabun nuzul) yaitu terkait dengan peristiwa komuniasi negosiasi seorang sahabat dalam keinginan mempersuasi anaknya agar masuk agama Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Yasar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Syu’bah, dari Abu Bisyr, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu ada seorang wanita yang selalu mengalami kematian anaknya, maka ia bersumpah kepada dirinya sendiri, “Jika anakku hidup kelak, aku akan menjadikannya seorang Yahudi”. Ketika Bani Nadir diusir dari Madinah, di antara mereka ada anak-anak dari kalangan Ansar. Lalu mereka berkata, “Kami tidak akan menyeru anak-anak kami (untuk masuk Islam).” Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. (Al-Baqarah: 256)
Imam Abu Daud dan Imam Nasai meriwayatkan pula hadis ini, kedua-duanya meriwayatkannya dengan lafaz yang sama. Sedangkan dari jalur-jalur yang lain diriwayatkan hal yang semakna, dari Syu’bah.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad Al-Jarasyi, dari Zaid ibnu Sabit, dari Ikrimah atau Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (Al-Baqarah: 256). Ibnu Abbas menceritakan: Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki Ansar dari kalangan Bani Salim ibnu Auf yang dikenal dengan panggilan Al-Husaini. Dia mempunyai dua orang anak lelaki yang memeluk agama Nasrani, sedangkan dia sendiri adalah seorang muslim. Maka ia bertanya kepada Nabi Saw., “Bolehkah aku memaksa keduanya (untuk masuk Islam)? Karena sesungguhnya keduanya telah membangkang dan tidak mau kecuali hanya agama Nasrani.” Maka Allah menurunkan ayat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut.
Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. As-Saddi meriwayatkan pula hal yang semakna, tetapi di dalam riwayatnya ditambahkan seperti berikut: Keduanya telah masuk agama Nasrani di tangan para pedagang yang datang dari negeri Syam membawa zabib (anggur kering). Ketika keduanya bertekad untuk ikut bersama para pedagang Syam itu, maka ayah keduanya bermaksud memaksa keduanya (untuk masuk Islam) dan meminta kepada Rasulullah Saw. agar mengutus dirinya untuk menyusul keduanya agar pulang kembali. Maka turunlah ayat ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Auf, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Abu Hilal, dari Asbaq yang menceritakan, “Pada mulanya aku memeluk agama mereka sebagai seorang Nasrani yang menjadi budak Umar ibnul Khajtab, dan ia selalu menawarkan untuk masuk Islam kepadaku, tetapi aku menolak. Maka ia membacakan firman-Nya: ‘Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).’ (Al-Baqarah: 256). Ia mengatakan, ‘Hai Asbaq, seandainya kamu masuk Islam, niscaya aku akan mengangkatmu sebagai pegawai untuk mengurusi sebagian urusan kaum muslim’.”
Ayat tersebut beserta asbabun nuzulnya memberikan sebuah inspirasi dan kesan yang dapat ditarik dalam konteks strategi komunikasi negosiasi. Yaitu seorang negosiator haruslah memahami atas kekuatan pesan negosiasinya. Tingkat kualitas pesan menjadi dasar pertimbangan dalam melakukan proses negosiasi. Jika pesan komunikasinya diyakini memiliki argumentasi yang kuat maka penolakan atas suatu konten negosiasi dianggap sebuah kebodohan. Sehingga seorang komunikator tidak perlu bersusah payah untuk mempersuasi orang lain terlebih hingga harus melakukan tindakan pemaksaan sebab rasionalitas dan intelegensia seseorang yang akan melakukan pemilahan dan pemilihan secara mandiri. Memaksakan suatu ide, pemikiran yang telah jelas nilai keterpercayaannya, atau menawarkan produk yang telah jelas tingkat kualitasnya dengan gaya komunikasi yang otoktarik, otoriter atau memaksa, tentu bukanlah tindakan yang tepat. Bahkan penerimaan atas konten tersebut harusnya merupakan suatu keniscayaan dan tidak dapat dielakkan (inevitibilty), bahkan menolaknya adalah sebuah kebodohan dan kerugian.
Konsep laa ikraaha fid diin memberikan suatu pesan panduan komunikasi bahwa pertama, proses negosiasi dan tingkat penerimaanya sangatlah ditentukan oleh faktor kecerdasan yang dipengaruhi oleh faktor rasionalitas dan tingkat awareness, baik dari pihak si penyampai (komunikator atau negosiator) ataupun juga partisipan komunikasi yang menjadi objek negosiasi. Kedua, suatu pesan yang telah jelas nilai kebenarannya tidak perlu dinegosiasikan. Ibarat menjelaskan keberadaan cahaya matahari disiang bolong yang terang benderang, maka hal itu adalah sebuah kesiasiaan, demikian pula menolak keberadaanya adalah sebuah kebodohan. Ketiga, seorang komunikator atau negosiator haruslah bersedia saling memahami berbagai perbedaan yang ada dan menghormatinya sebagai sebuah realita dan tidak boleh memaksakan kehendak atas pesan komunikasi yang ada. Keempat, negosiasi haruslah dilakukan secara sadar diantara kedua belah pihak dan keduanya berada dalam posisi yang sejajar tanpa sebuah paksaan (dalam menawarkan atau menerimanya). Kelima, keyakinan dan kepercayaan diri atas pesan negosiasi yang ditawarkan adalah menjadi jalan sukses negosiasi, karena hanya dengan keteguhan atas keyakinan inilah maka orang lain akan terpersuasi dengan komunikasi yang dilalukan.
Kesadaran komunikasi yang demikian inilah yang sebenarnya ingin dinegosiasikan oleh Islam melalui konsep komunikasi profetik ini dengan mengesplorasi berbagai sumber teks wahyu baik dari Firman Allah dalam alquran maupun hadist nabi dengan menghadirkan sudut pandang lain dalam memotret sebuah teks suci yang ada sehingga mampu memberikan jejak baru dalam sebuah kajian komunikasi. Wallahu a’lam