oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Salah satu dari maksud berorganisasi adalah menyatukan langkah untuk mencapai tujuan bersama. Setiap orang pada mulanya tentu memiliki kebutuhan, kepentingan dan harapan, yang dengannya seseorang dapat melanjutkan kehidupan. Namun semua orang dapat dipastikan tidak ada satupun dari mereka yang mampu memenuhi setiap kebutuhannya itu secara mandiri tanpa bantuan orang lain. Sebab manusia memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya. Karena itulah manusia diperintahkan untuk berkumpul dan saling mengikatkan diri untuk saling tolong menolong serta membantu dalam memenuhi dan mencapai segala maksud tujuan kebutuhannya. Inilah maksud dalam berorganisasi.
Namun agar dalam berkumpul seseorang dapat diikat dengan ikatan yang kuat dan tidak mudah lepas maka perlu sebuah pengikat yang benar-benar kuat. Komunikasi organisasi profetik dalam membangun kekuatan organisasi melalui tim work dibangun atas dua landasan penting yaitu konsep I’tishom dan Suhbah.
Landasan pertama adalah i’tishom yaitu sebuah ikatan yang kuat dalam menjalin hubungan antar anggota dalam organisasi. Ikatan kuat itu dalam perspektif profetik adalah dibangun atas hubungan ikatan ketuhanan (hablullah) yaitu berupa ikatan keimanan atau keyakinan. Karena ikatan keimanan akan mengikat hati, pikiran, perasaan dan tindakan manusia. Artinya organisasi dalam perspektif profetik haruslah dibangun atas landasan keimanan dan dengan ikatan ini mereka menjalankan interaksi dan komunikasinya. Sebagaimana di sebutkan dalam teks sumber wahyu :
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءٗ فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنٗا وَكُنتُمۡ عَلَىٰ شَفَا حُفۡرَةٖ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنۡهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ
Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali ‘Imran, Ayat 10)
Seorang yang telah diikat dengan keimanan maka pada setiap mereka telah memiliki hak dan kewajiban untuk saling dijaga. Sebagaimana disampaikan oleh nabi bahwa seorang yang telah beriman maka wajib pada setiap orang untuk menjaganya atas 3 hal. Sebagaimana disebutkan dalam teks hadits:
وعن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِنًى: (أَتَدْرُونَ أَيُّ يَوْمٍ هَذَا؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، فَقَالَ: فَإِنَّ هَذَا يَوْمٌ حَرَامٌ ، أَفَتَدْرُونَ أَيُّ بَلَدٍ هَذَا؟ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ: بَلَدٌ حَرَامٌ ، أَفَتَدْرُونَ أَيُّ شَهْرٍ هَذَا؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ: شَهْرٌ حَرَامٌ ، قَالَ: فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا ) رواه البخاري .
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma, ia berkata: Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “tahukah engkau hari apa ini?”. Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi bersabda: “sesungguhnya ini adalah hari yang haram (suci). Apakah engkau tahu negeri apa ini?. Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi bersabda: “ini adalah negeri yang haram (suci). Apakah kalian tahu bulan apakah ini?”. Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi bersabda: “ini adalah bulan haram (suci)”. Lalu beliau bersabda lagi: “sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas sesama kalian darah kalian (untuk ditumpakan) dan harta kalian (untuk dirampais) dan kehormatan (untuk dirusak). Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini dan haramnya negeri ini” (HR. Bukhari).
Setiap orang yang telah berikrar keimanan maka mereka memiliki hak yang wajib saling dijaga atas lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam teks hadits tentang hak sesama muslim,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – حَقُّ اَلْمُسْلِمِ عَلَى اَلْمُسْلِمِ سِتٌّ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ, وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ, وَإِذَا اِسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ, وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اَللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ, وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak muslim kepada muslim yang lain ada enam.” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam kepadanya; (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya; (3) Apabila engkau dimintai nasihat, berilah nasihat kepadanya; (4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’); (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia; dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR. Muslim. no. 2162)
Demikian pula seseorang yang telah diikat dengan ikatan keimanan maka keberadaan mereka telah menjadi bagian dari satu bangunan yang utuh yang saling menguatkan dan tidak mudah digoyahkan. Sebagaimana disampaikan dalam teks hadist bahwa seorang mukmin itu ibarat satu tubuh dan ibarat satu bangunan utuh. Sebagaimana dalam teks hadits,
مَثَلُ الْمُسْلِمِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ كَالْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اِشْتَكَى مِنْهُ عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَى
“Perumpamaan orang-orang muslim beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh; apabila satu organnya merasa sakit, maka seluruh tubuh meresponnya dengan merasa demam.” (HR Muslim)
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Orang mukmin dengan orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lain.” (Shahih Muslim No.4684)
Dalam perspektif profetik bahwa organisasi haruslah mampu memperlakukan manusia ibarat satu tubuh dan satu bangunan tersebut. Sehingga interaksi dan komunikasi yang dilakukan haruslah bisa saling menguatkan dan bukan saling menghancurkan. Karena suatu bangunan tidak akan pernah utuh berdiri tegak dan kokoh manakala interaksi antar unsur dibangun niat negatif dan cara komunikasi yang saling merugikan.
Organisasi ibarat satu tubuh sehingga komunikasi yang dilakukan juga haruslah saling menjaga dan tidak menyakiti. Bahkan jika salah satu dari anggota tubuh itu tersakiti maka seluruh anggota tubuh juga harus merasakan sakit yang sama. Artinya komunikasi organisasi dalam perspektif profetik menekankan pentingnya sikap empati atas orang laing sehingga mampu ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang lain. Bukanlah bagian satu tubuh manakala menghadirkan sikap egoisme, cuek dan tidak mau tahu orang lain (permasalahn dan kebutuhannya) dalam sebuah organisasi.
Menghadirkan perasaan satu tubuh ini akan melahirkan sikap bersahabat, suhbah antar anggota dalam organisasi. Konsep suhbah atau sahabat inilah yang diperkenalkan oleh nabi dalam membanguna landasan pola hubungan antar orang dalam organisasi untuk membangun kekuatan kerjasama dan kebersamaan dalam tubuh organisasi ummat islam sehingga mampu mencapai tujuannya yaitu kemenangan dan kejayaan islam dan kemuliaan islam (izzul islam). Inilah landasan pertama komunikasi organisasi profetik dalam membangun kerjasama tim, sebagai maksud awal adanya sebuah organisasi.
Landasan kedua komunikasi organisasi profetik ini dalam membangun tim work adalah konsep suhbah. Rasulullah mengenalkan penggunaan Istilah “sahabat” yang berasal dari kata suhbah (صحبة), berarti suatu ikatan hubungan yang kuat antara seseorang dengan orang lain dalam bangunan pertemanan, persahabatan. Imam Abu al-Qasim al-Qushayri kitabnya, al-Risalah al-Qushayriyyah, menjelaskan bahwa suhbah terbagi dalam tiga macam, yaitu pertama, ikatan hubungan dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya. Maka ia sebenarnya lebih merupakan suatu khidmat.
Kedua, ikatan hubungan dengan orang yang lebih rendah. Maka orang yang lebih tinggi harus menunjukkan sifat kasih sayang dan rahmat, sedang orang yang lebih rendah, haruslah menunjukkan sifat setia dan menghormati. Ketiga, Ikatan hubungan dengan orang yang sama atau setaraf sederajat. Maka ia dibina atas asas itsar, yaitu kesediaan mendahulukan dan mengutamakan orang lain serta menampilkan sikap kebijaksanaan.
Konsekwensi atas konsep ini mendorong seseorang dalam menjalakan praktek komunikasi organisasi haruslah dilandasi oleh nilai-nilai persahabatan itu, yakni setiap orang di seluruh tingkatan atau level peran dalam organisasi perlu menjaga dan mewujudkan nilai-nilai kasih sayang, perhatian khususnya dari seorang pimpinan terhadap anak buah atau anggota organisasi (top down atau down word communication). Sementara seorang anak buah terhadap pimpinan atau terhadap organisasi haruslah mampu menunjukkan sikap loyalitas, kesetiaan dan khidmad atau melayani (bottom up atau up word communication). Sementara dalam hubungan yang setara antar anggota atau sesama garis level (horisontal communication) maka setiap mereka harus mampu menunjukkan sikap yang saling menghargai, menghormati serta saling setia dengan mendahulukan dan mengutamakan kebutuhan dan keperluan saudaranya (itsar).
Wujud perilaku suhbah ini yang perlu menjadi landasan dalam membangun persahabatan dalam jalinan komunikasi organisasi profetik agar realitas organisasi berjalan dengan baik serta menjauhkan dari segala sikap perilaku yang dapat merusak jalinan suhbah ini.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا دَاوُدُ يَعْنِي ابْنَ قَيْسٍعَنْ أَبِي سَعِيدٍ مَوْلَى عَامِرِ بْنِ كُرَيْزٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُواوَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُوالْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِعَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِوبْنِ سَرْحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ أُسَامَةَ وَهُوَ ابْنُ زَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍمَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ كُرَيْزٍ يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُا قَالَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ نَحْوَ حَدِيثِ دَاوُدَ وَزَادَ وَنَقَصَوَمِمَّا زَادَ فِيهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلَا إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُإِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَشَارَ بِأَصَابِعِهِ إِلَى صَدْرِهِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab; Telah menceritakan kepada kami Dawud yaitu Ibnu Qais dari Abu Sa’id budak ‘Amir bin Kuraiz dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Janganlah kalian saling mendengki, saling memfitnah, saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah ada seseorang di antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah menunjuk dadanya), Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. hartanya, dan kehormatannya.” Telah menceritakan kepadaku Abu At Thahir Ahmad bin Amru bin Sarh Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab dari Usamah yaitu Ibnu Zaid Bahwa dia mendengar Abu Sa’id -budak- dari Abdullah bin Amir bin Kuraiz berkata; aku mendengar Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: -kemudian perawi menyebutkan Hadits yang serupa dengan Hadits Daud, dengan sedikit penambahan dan pengurangan. Diantara tambahannya adalah; “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati kalian. (seraya mengisyaratkan telunjuknya ke dada beliau). (Muslim no. 4650).
Fakta sejarah atas komunikasi organisasi profetik yang mengedepankan sikap suhbah ini ditunjukkan oleh para sahabat nabi disaat nabi berhijrah ke madinah yang diikuti oleh para sahabat muhajirin (makkah) dan diterima dengan baik oleh sahabat anshar (Madinah). Sesampainya di Madinah, Nabi membangun masjid sebagai tempat ibadah sekaligus sebagai tempat pertemuan dan pembinaan ummat, lalu nabi mempersaudarakan kaum muslimin (ta’akhah) antara muhajirin dan anshar. Sehingga tercatatlah sahabat Ja’far bin Abi Thalib dipersaudarakan dengan Mu’adz bin jabal, Hamzah bin Abdul Muthalib dengan Zaid bin Haritsah, Abu Bakar as shiddiq dengan Kharijah bin Zuhair, Umar bin Khattab dengan Utbah bin Malik, Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Rabi.
Tercatatlah peristiwa heroik persahabatan antara sahabat Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Rabi’ yang sangat fenomenal dalam sejarah. Bahwa abdurrahman bin auf sebagai muhajirin yang meninggalkan kota makkah tentu tidak membawa harta benda yang cukup, sementara Sa’ad bin Rabi’ sebagai orang tempatan (anshar madinah) memiliki banyak kecukupan harta benda. Sehingga ditawarkanlah kepada sahabat muhajirinnya agar memilih mana dia suka dari harta miliknya (Sa’ad) untuk kemudian dibagikan dengannya (Abdurrahman). Namun Abdurrahman tahu diri dan cukup meminta untuk ditunjukkan pasar agar dirinya bisa berusaha dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Peristiwa heroik ini diabadikan oleh Allah swt melalui FirmanNya :
وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةٗ مِّمَّآ أُوتُواْ وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr, Ayat 9)
Firman Allah swt ini dalam asbabun nuzulnya dijelaskan tentang peristiwa itsar sahabat, melalui jalur Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata, “Suatu hari, seseorang datang kepada Rasulullah seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sekarang ini saya sangat kelaparan.’ Rasulullah lalu menanyakan kepada istri-istrinya apakah memiliki persediaan makanan, namun tidak ada apa pun pada mereka. Rasulullah lantas berkata kepada sahabat-sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang mau menjamunya mala mini? Semoga Allah merahmati yang menjami tersebut.’ Seorang laki-laki dari kalangan Anshar lalu berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya akan menjamunya.’ Laki-laki itu lantas pulang ke rumah dan berkata kepada istrinya, ‘Saya telah berjanji akan menjamu seorang tamu Rasulullah. Oleh karena itu, keluarkanlah persediaan makananmu.’ Akan tetapi, sang istri menjawab, ‘Demi Allah, saya tidak punya makanan apapun kecuali sekedar yang akan diberikan kepada anak-anak kita.’ Laki-laki itu lantas berkata, ‘Kalau begitu, jika nanti anak-anak kita telah terlihat ingin makan malam maka berusahalah untuk menidurkan mereka. Setelah itu, hidangkanlah makanan untuk mereka itu (kepada sang tamu) dan padamkan lampu.’ Adapun kita sendiri akan tidur dengan perut kosong pada mala mini.’ Sang istri lalu menuruti intruksi suaminya itu. Pada pagi harinya, laki-laki itu bertemu dengan Rasulullah. Beliau lantas berkata kepada para sahabat, ‘Sesungguhnya Allah telah berkagum-kagum atau tersenyum dengan apa yang dilakukan oleh si Fulan dan Fulanah. Allah lantas menurunkan ayat, ‘…dan mereka yang mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan…’ ” (Tafsir AlQuran Ibnu Katsir).
Berdasarkan penjelasan diatas menegaskan bahwa jika pada awalnya keberadaan organisasi diniatkan untuk membangun kerjasama antar individu, namun dalam perjalanan prosesnya selalu menghadirkan konflik bahkan tidak jarang dari konflik-konflik dalam organisasi itu berujung pada persengketaan dan pertikaian bahkan pertengkaran hingga hancur leburlah organisasi. Hal ini disebabkan ikatan dasarnya lepas sehingga organisasi tidak lagi diikat dengan ikatan yang kuat akhirnya mudah lepas dan berantakan. Itulah ikatan keimanan, keyakinan yang harusnya menjadi landasan bahkan tujuan utama dalam setiap tindakan sehingga manakala merujuk pada landasan ini maka setiap orang tentu akan mudah diikat kembali manakala dikembalikan pada ikatan utamanya. Namun sebaliknya jika keimanan dan segala konsekwensinya tidak dijadikan landasan bahkan lebih mengedepankan hawa nafsu dalam menjalankan roda organisasi maka pastilah akan mudah lepas dan membuyarkan tujuan awalnya.
Komunikasi organisasi profetik yang melandaskan pada konsep i’tishom dan suhbah ini yang menjadikan interaksi lebih hidup dan bermakna sehingga setiap individu organisasi merasa menjadi bagian penting dalam satu kesatuan ukhuwah ibarat satu tubuh dan satu bangunan utuh. Organisasi ibarat sebuah keluarga yang menjadikan setiap orang diperlakukan selayaknya keluarga yang saling memberikan perhatian dan kepedulian dengan penuh tanggungjawab dan tolong menolong untuk mencapai tujuan bersama. Inilah indahnya komunikasi profetik.