KANAL24 Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengubah aturan terkait impor barang kiriman lewat e-commerce. Perubahan yang dilakukan yaitu menyesuaikan nilai pembebasan (de minimis) atas barang kiriman dari sebelumnya USD75 menjadi USD3 per kiriman (consignment note) untuk bea masuk. Sedangkan pungutan pajak dalam rangka impor diberlakukan normal (tidak ada batas ambang bawah /deminimis).
Namun demikian pemerintah juga membuat rasionalisasi tarif dari semula total 27,5 – 37,5 persen (Bea Masuk 7,5 persen, PPN 10 persen, PPh 10 persen dengan NPWP atau PPh 20 persen tanpa NPWP ) menjadi 17,5 persen (Bea Masuk 7,5 persen, PPN 10 persen, PPh 0 persen). Kebijakan ini diterapkan demi perlakuan perpajakan yang adil dan perlindungan pada industri kecil dan menengah dalam negeri.
Direktur Jenderal Bea Cukai Kemenkeu, Heru Pambudi, mengatakan catatan dokumen impor e-commerce melalui barang kiriman di tanah air mencapai 49,69 juta paket pada tahun 2019. Jumlah tersebut meningkat tajam dari sebelumnya yang hanya sebesar 19,57 juta paket pada tahun 2018 dan 6,1 juta paket pada tahun 2017.
“Pertimbangan ini diambil berangkat dari masukan beberapa asosiasi IKM, Kementerian Perindustrian, asosiasi forwarder ( ALFI ), dan pengusaha retail atau distributor offline,” ungkap Heru dalam keterangannya, Senin (23/12/2019)).
Lebih rinci, Heru menyebutkan bea masuk untuk tas sebesar 15 – 20 persen. Kemudian untuk sepatu 25 – 30 persen dan produk tekstil 15 – 25 persen. Penyesuaian de minimis value sebesar USD3 ini dengan mempertimbangkan nilai impor yang sering dideclare dalam pemberitahuan impor barang kiriman (CN/Consigment Note) adalah USD3,8 per CN.
Selanjutnya, kata Heru, kebijakan ini juga akan diiringi dengan ketentuan impor barang e-commerce dengan menggandeng platform marketplace untuk bersinergi dengan bea cukai dalam rangka transparansi. Skema ini akan memungkinkan platform marketplace mengalirkan data transaksi e-commerce ke sistem Bea Cukai secara online.
Dengan begitu kebijakan ini mampu menghilangkan praktik under invoice dan mengurangi missdeclaration dalam pemberitahuan barang kiriman. Pada akhirnya diharapkan masyarakat akan terdorong untuk lebih memaksimalkan penggunaan produk dalam negeri.
“Perubahan aturan ini merupakan upaya nyata Kementerian Keuangan untuk mengakomodir masukan dari para pelaku industri dalam negeri khususnya IKM, untuk mengeliminasi kesenjangan antara produk dalam negeri yang membayar pajak dengan produk impor yang masih membanjiri pasaran Indonesia,” pungkas Heru. (sdk)