oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Manusia dicipta dengan memiliki seperangkat kemampuan yang istimewa yang tidak dimiliki oleh makhluk Allah lainnya, yaitu kemampuannya mengenali tanda-tanda (sign). Sebagaimana dalam teks Firman Allah:
وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمۡ عَلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبِـُٔونِي بِأَسۡمَآءِ هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ
Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!” (QS. Al-Baqarah, Ayat 31)
Kemampuan mengenali “tanda” adalah keterampilan utama manusia sehingga semakin banyak manusia mengenali tanda maka semakin berkualitas kemampuan diri. Tanda (sign) adalah sesuatu yang bersifat fisik atau bendawi, bisa dicermati dan diamati oleh indra kita; tanda adalah suatu penamaan atas sesuatu, ia mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri; dan bergantung pada kemampuan penggunanya dalam mengenali sesuatu sehingga bisa disebut “tanda”. Sementara itu makna adalah hasil dari proses penandaan yaitu berupa kemampuan seseorang memberikan muatan nilai atas suatu tanda. Makna merupakan hasil interaksi dinamis antara tanda, interpretant dan objek; Makna dan tanda adalah hal yang sangat esensial dalam kajian komunikasi. Sesungguhnya komunikasi dalam sudut pandang semiotik adalah sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning). Sementara dalam perspektif profetik manusia telah diberi kemampuan untuk membuat tanda sebab itulah potensi dasar yang telah dimilikinya secara given oleh Allah yang telah menciptakannya.
Komunikasi profetik sangat mendorong setiap orang untuk terus menerus merenungkan fakta dan realitas yang ada di alam semesta ini dengan menggunakan akal fikiran sehat melalui inderanya. Sebagaimana di nyatakan dalam teks sumber wahyu :
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ . ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (QS. Ali ‘Imran, Ayat 190-191)
Mengindera objek tidaklah cukup hanya sekedar menggunakan potensi fisik indrawi. Sebab proses pemaknaan akan menjadi benar manakala kemampuan indera fisik dihubungkan drngan faktor penting yang ada dalam diri manusia yaitu naluri ketuhanannya (gharizah tadayyun) agar apa yang diindera fisik benar-benar bermakna. Hal demikian ditegaskan dalam teks Firman Allah swt
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Ia telah menciptakan manusia dari ‘Alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya (QS. Al Alaq: 1-5)
Pembacaan atas realitas melalui perintah اقرأ hanya akan menjadi sangat bermakna (meaningfull) manakala menghadirkan “nama Tuhan yang mencipta”. Artinya seseorang mampu memberi nama sebab sejak diawal penciptaannya telah diberi kemampuan itu oleh Tuhan Sang Pencipta. Lalu “tanda” akan bermakna manakala mampu dikaitkan dan dihubungkan dengan Tuhan yang maha mencipta.
Proses pemaknaan dibutuhkan pemahaman dan kesadaran spiritual yang tinggi dan dalam sehingga mampu menangkap sebuah pesan nilai yang terkandung dalam sebuah “tanda”. Allah swt mencipta segala apapun termasuk “tanda” selalu menitipkan pesan yang dirahasiakan dalam setiap “tanda” yang ada. Hanya orang-orang yang bersedia berpikir mendalam serta bersungguh-sungguh untuk menemukan pesan rahasia yang mampu mengungkap berbagai pesan penting itu. Sebagaimana diindikasikan melalui kalimat “yadzkuruuna” yang artinya terus menerus berpikir tanpa henti dalam setiap keadaan, yang disimbolisasikan dengan kata “qiyaaman (berdiri), qu’uudan (duduk), ‘ala junuubihim (berbaring)” artinya berusaha dengan sungguh-sungguh dan tiada henti terus menerus berupaya menemukan pesan dibalik sebuah “tanda” agar menjadi sesuatu yang bermakna. Manakala seluruh proses pembacaan yang dilakukan tersebut dibingkai dalam satu keyakinan, keimanan spiritual mampu mencapai pada kesadaran spiritual yang tinggi, yaitu menguatkan nilai kebesaran dan kemahamuliaan Allah swt sang pencipta.
Menemukan dan memberi makna atas sesuatu adalah aktifitas komunikasi personal (di dalam diri sendiri) dengan melibatkan perspektif, informasi sebelumnya (maklumat sabiqah), kesadaran nilai atau spiritualitas, dan indera yang kesemuanya bersatupadu dalam membentuk makna. Kedalaman pemahaman, keluasan berpikir serta kelembutan hati akan membantu menguak “tanda” menjadi makna. Semakin mendalam dan konprehensif seseorang dalam melihat suatu objek maka akan semakin berbeda pula kualitas makna yang diperolehnya. Namun puncak pemaknaan atas suatu tanda menurut perspektif profetik yaitu menemukan bahwa tidak ada satupun realitas yang ada kecuali hanyalah pasti memberikan manfaat bagi siapapun.
Pemaknaan adalah level kedua sebelum puncak dalam mencerdasi suatu realitas. Sementara tahap puncaknya adalah penghambaan atau tindakan komunikasi spiritual seseorang untuk bersedia tunduk menghamba yaitu menerima segala apapun keputusan aturan Sang Pencipta serta mengagungkanNya.
“Tanda” dalam perspektif profetik adalah bersifat given yaitu telah diberikan oleh Allah pada diri manusia dalam bentuk kemampuan memberikan nama, serta telah di tekstualisasikan (dhahirkan) oleh Allah melalui teks-teks FirmanNya. Sementara sesuatu spesifik yang tidak tercantum dalam teks maka hal itu menjadi tugas manusia untuk mengeksplorasinya dan memberikannya nama. Penandaan adalah proses kreatif manusia dalam menggunakan potensi rasionalitas inderawinya. Sementara pemaknaan adalah proses kontemplatif pemberian nilai atas suatu tanda (realitas). Puncaknya adalah proses spiritual manusa dalam melakukan penghambaan dan pengagungan atas rahasia di balik penciptaan terhadap Sang Penciptanya.
Seseorang yang mampu melewati proses pembacaan realitas ini dengan sempurna hingga mencapai level penghambaan dan pengagungan maka itulah yang disebut sebagai ulul albab, pemilik akal sehat rasional spiritual yang mampu membuka pintu-pintu rahasia alam semesta sehingga dapat menemukan intisari (lubaabun, لباب) kehidupan yaitu bahwa semua realitas itu kembali pada sesuatu yang satu yaitu Allah swt Sang Pemilik Kehidupan yang sangat layak dan pantas serta hanya satu-satunya untuk disembah dan diagungkan.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen Fisip UB