KANAL24, Jakarta – Bank Indonesia mencatat aliran modal asing yang masuk ke Indonesia pada tahun 2019 mencapai Rp224,2 triliun. Mayoritas dana asing yang masuk ke tanah air, ditempatkan di obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN).
“Ini alhamdulillah kita tutup 2019 dengan kestabilan eksternal yang terjaga. Ini terlihat dengan aliran modal asing masuk yang cukup besar,” kata Gubernur BI, Perry Warjiyo di Jakarta, Jumat (3/1/2019).
Perry menjelaskan dari total aliran modal asing yang masuk sebesar Rp224,2 triliun, sebagian besar ditempatkan di SBN sebesar Rp168,6 triliun. Sisanya, sebesar Rp50 triliun ditempatkan ke saham, kemudian sebesar Rp3 triliun ditempatkan ke obligasi korporasi. Terakhir, Rp2,6 triliun ditempatkan ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Mengacu catatan BI, aliran modal asing yang masuk Indonesia melonjak drastis dibandingkan tahun 2018. Pada saat itu, aliran modal asing yang masuk Indonesia hanya sebesar Rp13,9 triliun.
Perry menegaskan bahwa melonjaknya modal asing yang masuk ke Indonesia menjadi bukti bahwa investor memiliki kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia. “Hal ini terjadi di tengah kondisi eksternal yang diliputi ketidak pastian,” jelas Perry.
Perry juga menjelaskan cadangan devisa Indonesia juga kembali naik. Menurut data sementara, cadangan devisa Indonesia akan lebih tinggi dari US$ 127 miliar. Dengan demikian memang mengindikasikan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) Triwulan IV 2019 akan mengalami surplus sebagaimana terbukti dengan cadev yang naik di triwulan IV 2019.
“Insya Allah minggu depan akan kita umumkan,” ucap Perry.
Dalam catatan BI, NPI mengalami defisit US$ 46 juta per Kuartal III 2019. Membaik dibandingkan kuartal II 2019 yang mencatat defisit US$ 2 miliar. Secara keseluruhan, NPI periode Januari – September 2019 mengalami surplus US$ 396 juta.
Indonesia juga mencatatkan defisit transaksi berjalan pada Kuartal III 2019 mencapai US$ 7,7 miliar atau 2,7% terhadap Produk Domestik Bruto atau PDB. Capaian ini membaik dibanding Kuartal II 2019 yang sebesar US$ 8,5 miliar atau 3,22% terhadap PDB. (sdk)