KANAL24, Jakarta – Harga saham emiten sektor rokok sepanjang tahun lalu tertekan akibat cukai rokok yang kembali naik. Tapi, secara fundamental, kinerjanya diperkirakan masih tumbuh.
Menurut Robertus Hardy, Analis Kresna Sekuritas, tahun lalu, investor panik sehingga ramai-ramai menjual saham sektor rokok. Ini terjadi setelah penghitungan bobot saham anggota indeks LQ45 dan IDX30 berubah karena memperhitungkan free float .
Akibat aturan baru tersebut, sontak harga saham PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) memerah. Kepanikan investor berlanjut setelah pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai rokok naik sebesar 12%-29% dan membuat harga jual eceran (HJE) rokok melonjak 35%.
Sementara Muhammad Fariz, Analis Ciptadana Sekuritas, memperkirakan dampak kenaikan harga rokok berpotensi menekan volume penjualan emiten rokok.
Prospek saham rokok
Di satu sisi, emiten tidak bisa menghindari kenaikan harga rokok demi menyesuaikan kenaikan tarif cukai rokok. Menurut Fariz, sejak Desember, GGRM sudah ancang-ancang menaikkan harga jual rokoknya sekitar 30%. Sementara, HMSP juga menaikkan harga jual rokok sekitar 15%-40%.
Karena itu, Fariz menilai sentimen positif sedang menjauhi sektor rokok. Selain harga jual yang makin mahal, Fariz menilai daya beli masyarakat kurang mendukung.
Belum lagi, kompetisi di industri ini yang terbilang ketat. “Reli kenaikan harga saham sektor ini akan susah terjadi, sektor rokok lebih cocok untuk jangka pendek,” kata Fariz, seperti dikutip Kontan Jumat (3/1/2019).
Namun, Muhammad Nafan Aji Gusta Utama, analis Binaartha Sekuritas, memandang optimistis sektor rokok. Sebab, permintaan rokok dari dalam negeri selalu lebih tinggi dari negara lain.
Nafan juga mengapresiasi usaha pemerintah dalam meningkatkan perekonomian. “Cukai rokok memang selalu naik, tetapi permintaan akan terus ada di tengah masyarakat yang memiliki kebiasaan merokok,” kata Nafan.
Nafan menilai bisnis emiten produsen rokok masih berpotensi berkembang. Apalagi secara fundamental, dua emiten rokok terbesar di Indonesia masih bisa mencatatkan pertumbuhan laba bersih.
Robertus menambahkan, sektor rokok masih memiliki katalis positif yang datang dari pengurangan tarif pajak penghasilan perusahaan dari 25% saat ini menjadi hanya 22% untuk 2021 dan 20% untuk 2023, yang akan diatur melalui Omnibus Law . Harapannya, profitabilitas emiten produsen rokok bisa terjaga.
Rekomendasi saham rokok
Robertus masih merekomendasikan beli untuk GGRM dengan target harga Rp 57.800. Fariz merekomendasikan hold untuk GGRM dengan target harga Rp 48.700 dan sell bagi HMSP dengan target harga Rp 1.450 per saham.
Berikut rekomendasi analis untuk saham rokok:
GGRM mengincar lini bisnis di luar produksi rokok. Hal ini ditunjukkan dengan pembentukan anak usaha PT Surya Kerta Agung (SKA). SKA adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang pembangunan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan jalan raya serta jalan tol. Selain itu,
GGRM juga merencanakan membangun bandar udara (Bandara) Kediri, Jawa Timur. Pendanaan akan menggunakan dana internal perusahaaan.
Kinerja 30/09/2018 vs 30/09/2019 (dalam miliar rupiah kecuali EPS)
Pendapatan: 69.889,35 vs 81.721,03
Laba Bersih: 5.761,19 vs 7.243,26
Earning per Share (EPS): Rp 2.994 vs Rp 3.765
Rekomendasi: Buy
Target harga: Rp 61.800
Analis: Putu Chantika (NH Korindo Sekuritas)
Hingga kuartal III-2019, pendapatan
HMSP turun tipis. Salah satunya akibat penurunan penjualan pada bisnis ekspor sebesar 5,17% year on year (yoy), dari Rp 332,14 miliar menjadi Rp 314,96 miliar. Untuk menjaga pangsa pasar dan volume penjualan, HMSP merilis produk kandungan tar tinggi dengan harga terjangkau. HMSP
meluncurkan Philip Morris Bold, rokok dengan kadar tar tinggi yang menyasar segmen harga rendah.
Kinerja 30/09/2018 vs 30/09/2019 (dalam miliar rupiah kecuali EPS)
Pendapatan: 77.534,84 vs 77.507,28
Laba Bersih: 9.690,29 vs 10.200,15
Earning per Share (EPS): Rp 83 vs Rp 88
Rekomendasi: Buy
Target harga: Rp 2.400
Analis: Stevanus Juanda (UOB Kay Hian)
Produsen rokok PT Bentoel International Investama Tbk (
RMBA) per kuartal III-2019 ini mencatatkan laba bersih untuk pertama kalinya setelah terus-menerus merugi sejak 2012. Emiten berkode saham RMBA ini membukukan laba bersih Rp 11,25 miliar. Raihan laba bersih berasal dari upaya menambah volume ekspor serta efisiensi dengan menjual aset-aset tidak perlu, seperti pabrik-pabrik kosong.
Kinerja 30/09/2018 vs 30/09/2019 (dalam miliar rupiah kecuali EPS)
Pendapatan: 15.957,27 vs 14.914,07
Laba Bersih: (0,42) vs 11,25
Earning per Share (EPS): Rp (11,65) vs Rp 0,31
Rekomendasi: Buy
Target harga: Rp 375
Analis: Hans Kwee (PT Anugerah Mega Investama). (sdk)