oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Kewajiban menuntut ilmu sama dengan pentingnya mencari jalan keluar bagi seseorang yang terjebak dalam sebuah gua atau suatu hutan untuk menemukan jalan keluar dari tempat itu. Ilmu adalah jalan keluar dari semua persoalan yang sedang dihadapi manusia. Sehingga seorang yang berilmu tentu lebih mulia dibandingkan orang yang tidak berilmu, karena dengan ilmunya maka seseorang dapat mengenali dirinya, alam sekitarnya, Tuhan yang menciptakan segala sesuatu. Dengan pengenalan (awareness) yang baik itu maka dirinya dapat menempatkan posisi dirinya dengan baik dalam setiap pola hubungan interaksi. Maka pantaslah Allah swt memuliakan dan meninggikan derajat orang yang berilmu, sebagaimana dalam FirmanNya :
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“ (QS. Al Mujadilah ayat 11).
أَمَّنۡ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدٗا وَقَآئِمٗا يَحۡذَرُ ٱلۡأٓخِرَةَ وَيَرۡجُواْ رَحۡمَةَ رَبِّهِۦۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar, Ayat 9)
وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِناً قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُوْلَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَى
“Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh beramal salih, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh derajat yang tinggi (mulia) “ (QS.Thaha : ayat 75)
Iman, Ilmu, Amal shalih adalah tiga kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ketiganya yang akan menyelamatkan manusia dari kebodohan, kedhaliman dan kemungkaran serta menjadi jalan keluar atas berbagai persoalan kehidupan sekaligus penyelamat dalam kehidupan di dunia hingga akhirat. Sebagaimana di Firmankan oleh Allah swt :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا
Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …. ( QS.At-Tahrim, Ayat 6)
Imam Ibnu Katsir menerangkan tentang ayat tersebut diatas dalam kitab tafsirnya melalui riwayat dari Sufyan ats tsaury dari Mansur, dari seseorang dari Ali r.a. menjelaskan, bahwa maknanya adalah “addibuuhum wa ‘allimuuhum, ajari mereka (keluargamu) dengan adab dan didiklah mereka pula dengan ilmu agar mereka menjadi manusia yang berilmu dan beradab. Artinya ilmu dan adab adalah kunci untuk memperoleh kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat.
Adab adalah kata kunci bagi keselamatan manusia. Manusia boleh memiliki ilmu yang tinggi, namun manakala mereka tidak memiliki adab maka ilmu yang dimilikinya menjadi tidak bermakna. Adab ibarat sebuah wadah, sementara ilmu ibarat air. Air akan menjadi tidak dapat dinikmati oleh orang, manakala air tersebut tidak ada pada wadahnya, sehingga menjadikannya murah bahkan tidak bermakna. Adab adalah lebih utama daripada ilmu, al adabu afdhalu minal ilmi, demikian dikatakan oleh Prof. Abuya sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki.
Apabila kita cermati pendapat dan pengalaman para ulama (cendekiawan muslim) masa lalu, selalu menekankan adab dalam proses menuntut ilmu. Imam asy Syafii menyatakan bahwa beliau mengejar adab seperti seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang . Menurut Ibnu Mubarak, adab menempati porsi cukup besar dalam islam, yaitu dua pertiganya. Beliau mempelajari adab selama 30 tahun, lllu belajar ilmu selama 20 tahun.
Seorang berilmu akan semakin mulia manakala disertai dengan adab dan dauq (rasa yang mendalam). Adab adalah pandangan dan sikap yang betul terhadap segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah swt. Sehingga seseorang yang memiliki adab maka dia akan tahu dan tepat dalam memposisikan dirinya saat berinteraksi dengan beragam pola hubungan. Prof. Nuqaib al Attas menyebutnya dengan istilah “right action”. Adab adalah sopan santun Islami yang dituntun oleh syariat aturan Allah yang merupakan misi utama dari risalah kenabian (prophetic) yaitu untuk menyempurnakan akhlaq mulia manusia, innamaa bu’itstu liutammimaa makaarimal akhlaaq.
Sementara, hal lain yang tak dapat dipisahkan dalam proses menuntut ilmu selain adab adalah dzauq atau ilmu rasa. Yaitu suatu perasaan mendalam dalam berinteraksi dan memaknai setiap pesan komunikasi. Dzauq ini pada awalnya bermula dalam tradisi tasawwuf. Menurut al-Ghazali, dzauq merupakan kehadiran hati (hudhur al-qalb) ketika seseorang berdzikir kepada Allah secara kontinyu (terus-menerus) yang buah dari dzikir itu akan menghasilkan cita rasa spiritual (dzauq) paling dalam di tengah kesadaran tertinggi.
Dzauq adalah hikmah yang Allah swt berikan kepada para penuntut ilmu (thaalibul ilmi) manakala dirinya mampu menghadirkan adab dalam belajar serta menghidupkan hatinya dalam berinteraksi dengan semua peristiwa. Menghidupkan hati berarti ada kesediaan untuk melembutkannya melalui penghayatan yang mendalam sehingga menumbuhkan rasa atau menghadirkan perasaan dalam berinteraksi dengan segala apapun sehingga mampu menangkap berbagai pesan yang tersembunyi dari berbagai realitas empirik.
Dzauq tidak dapat dipelajari melainkan ia diperoleh melalui tindakan-tindakan nyata dalam berkhidmah atau melayani, baik terhadap guru, ilmu dan orang lain. Khidmad adalah kesediaan seseorang dalam merendahkan dirinya, bersedia ndhlosor dengan mengalahkan kesombongan akalnya untuk melayani kebutuhan orang lain. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Abuya sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki :
العلم يدرك والخدمة لا تدرك
Ilmu itu dapat dipelajari, sementara khidmad (melayani) tidak dapat dipelajari.
Khidmad atau melayani tidak cukup dipelajari dengan cara membuka buku dan membaca tulisan, melainkan harus dipraktekkan dalam perilaku untuk bersedia melayani khususnya pada guru sebagai bentuk perwujudkan melayani ilmu. Sehingga tidak jarang seorang murid bersedia untuk sepenuh hati dan waktunya untuk menjadi sopir bagi gurunya, menjadi tukang masak bagi gurunya, mengurus kebutuhan gurunya, menata sandal bagi para pembelajar lainnya, membersihkan kamar mandi, dan lain sebagainya. Sehingga dengan tindakan pelayanan ini mampu membunuh kesombongan akal pikirannya sehingga menjadikan hati dan perasaannya hidup. Karena cahaya ilmu tidak akan pernah berkumpul dengan kesombongan diri. Dari tindakan khidmad inilah maka lahir dzauq (perasaan batin yang mendalam).
Perhatikan perilaku para sahabat dalam melayani (berkhidmad) kepada Rasulullah saw, muawiyah dan Zaid bin Tsabit bertugas menulis dan mendokumentasikan wahyu. Anas bin Malik dan barokah Ummu Aiman yang membantu keperluan rumah tangga nabi, sementara Bilal bin Rabah bertugas urusan belanja dapur. Abdullah Bin Mas’ud yang mengurusi sandal dan siwak nabi. sementara rabi’ah Bin ka’ab adalah bagian menyiapkan air wudhu nabi. muaikib bin Abi Fatimah khusus mengurus cincin Nabi. Uqbah bin Amir adalah yang menuntun kendaraan nabi saat perjalanan, demikian pula Dzar bin Abi Dzar yang menggembalakan unta-unta nabi. Kemudian Qaiz bin Saad Bin ubadah sebagai pengawal pribadi nabi. Itulah cara sahabat dalam menunjukkan pelayanannya (khidmad) secara tulus kepada guru mulia, Rasulullah saw, demi mendapatkan keberkahan dari apa yang dipelajarinya dan dilaluinya bersama. Dari tindakan khidmad itulah lahir perasaan mendalam (dzauq) sehingga mampu menimbulkan rasa ikatan batin yang kuat dengan sang guru dan berujung pada munculnya loyalitas yang tinggi (al walaa’).
Dzauq bagi seorang pembelajar adalah kesediaan menghidupkan hati dalam mendalami ilmu yang akan memudahkan dirinya dalam memahami berbagai rahasia ilmu yang tidak bisa ditangkap oleh indera fisik kemanusiaan. Hal ini disebabkan bahwa ilmu adalah cahaya (al ilmu nuurun), bukanlah benda fisik yang bisa ditangkap dengan tangan, melainkan oleh hati yang bersih tanpa kotoran sehingga kemudian mampu untuk dipantulkannya kembali. Sebagaimana ayat-ayat alquran sebagai Firman Allah, bukanlah sekedar sekumpulan huruf, kata dan kalimat. Melainkan disana ada banyak rahasia kehidupan yang dititipkan oleh Allah swt melalui huruf, kata dan kalimat tersebut. Untuk menemukan rahasianya tidaklah cukup dengan menggunakan indera fisik dan akal rasionalitas semata, melainkan rahasia-rahasia itu dapat menyingkapnya melalui dzauq, yaitu hati, batin dan perasaan yang hidup, yang kita menyebutnya dengan istilah mata bathin. Oleh karena itu, seorang guru tidaklah cukup hanya sekedar mengajar dengan menggunakan bahasa rasional dan fakta empirik untuk mendekati para murid, namun lebih daripada itu perlu menghidupkan hati dan rasa mereka agar menjadikan mereka benar-benar mampu menemukan rahasia kehidupan di balik ilmu yang dipelajarinya. Perpaduan antara rasionalitas pikiran, kelembutan hati dan kedalaman rasa (dzauq) dalam menuntut ilmu adalah suatu hal yang tidak lagi perlu dipisahkan. Semuanya harus menjadi satu kesatuan integral dalam proses pembelajaran. Karena dari adab inilah akan melahirkan peradaban.
Pertanyaannya, apakah komunikasi pendidikan yang dilakukan dalam dunia pendidikan kita sekarang telah mampu memadukan semua potensi manusia sebagaimana yang telah dijelaskan diatas? Apakah pendidikan kita telah mampu melahirkan para pembelajar yang bermoral tinggi, beradab dan berakhlak mulia? . Apakah pendidikan yang dilakukan selama ini telah mampu mengantarkan pada realitas kehidupan berbangsa yang beradab? Dan apakah proses pendidikan yang dilakukan selama ini telah mampu membangun sebuah peradaban tinggi dan mulia? . Inilah kiranya tantangan bagi kita semua untuk menjawabnya.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen Fisip UB