oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Berkomunikasi adalah memanusiakan manusia (human humanization). Berkomunikasi tidak hanya sekedar mentransfer sebuah pesan dari satu orang ke orang lain, namun lebih daripada itu yaitu komunikasi adalah untuk menempatkan orang lain dalam posisi yang terhormat, membuat orang merasa ada dan dihargai keberadaannya. Pada konteks ini, maka komunikasi selain dipahami sebagai suatu seni (art) juga sebagai upaya membangun makna (meaning) atas suatu eksistensi. Komunikasi dalam pandangan ini menjadi suatu sarana untuk membuat kehidupan lebih bermakna menuju kesejahteraan manusia.
Rasulullah saw adalah sosok teladan terbaik dalam kehidupan tentang bagaimana menggunakan keterampilan komunikasi profetik untuk menjadikan hidup manusia lebih bermakna dan membahagiakan. Rasulullah adalah pribadi yang paling mampu menyusun pesan, menempatkan cara, metode dan tindakan yang sangat tepat dalam berkomunikasi, baik dengan siapa beliau berkomunikasi, dimana dan kapan pesan itu harus disampaikan dengan cara yang sangat tepat sehingga mampu membuat setiap orang merasa puas saat berinteraksi dan berkomunikasi dengan Nabi saw.
Salah satu keistimewaan komunikasi Rasulullah adalah jawami’ul kalim. Yaitu kemampuan komunikasi nabi yang ringkas, singkat, padat, berbobot dan tepat sasaran serta mampu memuaskan pikiran dan menenangkan jiwa hati setiap orang yang berinteraksi dengannya. Keistimewaan Jawami’ al-Kalim ini tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelum beliau.
فُضِّلْتُ عَلَى الأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ..
“Aku diberi kelebihan dibandingkan nabi-nabi sebelumku dengan 6 hal: aku diberi Jawami’ al-Kalim, aku ditolong dengan rasa takut yang disematkan di hati para musuh…” (HR. Muslim 1195 & Turmudzi 1640).
بُعِثْتُ بِجَوَامِعِ الْكَلِمِ…
Aku diutus dengan membawa Jawami’ al-Kalim… (HR. Bukhari 2977).
Selain kemampuan komunikasi yang sangat tepat sasaran ini, Rasulullah juga mampu memuaskan setiap orang yang berinteraksi dengannya sehingga mereka merasa berharga dihadapan Nabi. Termasuk dalam hal ini cara komunikasi yang sangat indah disaat berkomunikasi dengan kalangan sahabat penyandang disabilitas, atau para penyandang cacat.
Komunikasi disabilitas ini dianggap amat penting dalam pandangan profetik. Hal ini dapat terungkap pada jejak teks sumber wahyu terkait dengan teguran Allah swt kepada Rasulullah saw disaat beliau sedang berdakwah kepada kalangan bangsawan Quraisy sementara datang Ibnu Ummi Maktum (seorang sahabat yang tunanetra) untuk menanyakan sesuatu, namun Rasulullah tidak memperdulikannya. Sehingga atas peristiwa ini Rasulullah yang mulia ditegur langsung oleh Allah swt dengan menurunkan ayatNya :
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰۤ أَن جَاۤءَهُ ٱلۡأَعۡمَىٰ وَمَا یُدۡرِیكَ لَعَلَّهُۥ یَزَّكَّىٰۤ أَوۡ یَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ ٱلذِّكۡرَىٰۤ أَمَّا مَنِ ٱسۡتَغۡنَىٰ فَأَنتَ لَهُۥ تَصَدَّىٰ وَمَا عَلَیۡكَ أَلَّا یَزَّكَّىٰ وَأَمَّا مَن جَاۤءَكَ یَسۡعَىٰ وَهُوَ یَخۡشَىٰ فَأَنتَ عَنۡهُ تَلَهَّىٰ)
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfa’at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. (QS ‘Abasa : 1 – 10)
Teguran Allah swt atas sikap nabi ini menunjukkan betapa pentingnya komunikasi disabilitas, hal ini dimaksudkan agar setiap orang dapat diperlakukan secara sama sederajat dalam interaksi sehingga seorang difabel tidak merasa direndahkan bahkan juga merasa dihargai keberadaannya seperti halnya manusia normal lainnya. Teguran itu merupakan sebuah pembelajaran berharga betapa umat manusia diajarkan untuk saling menghormati, perhatian dan peduli kepada siapa saja khususnya kalangan difabel.
Rasulullah adalah teladan komunikator terbaik sepanjang masa. Beliau sangat mampu membuat setiap orang merasa tersanjung dan mulia sekalipun dalam keadaan tidak sempurna dari aspek fisik. Dalam riwayat Anas bin Malik mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ قَالَ إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدِي بِحَبِيبَتَيْهِ فَصَبَرَ عَوَّضْتُهُ مِنْهُمَا الْجَنَّةَ يُرِيدُ عَيْنَيْهِ
“Allah berfirman; “Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan penyakit pada kedua matanya, kemudian ia mampu bersabar, maka Aku akan menggantinya dengan surga.” maksud (habibataihi) adalah kedua matanya. (HR. Bukhari. no. 5221)
Kalimat dalam hadits qudsi ini menunjukkan suatu penghormatan dari Allah swt atas kalangan difabel yang mampu bersabar dengan ujian yang Allah swt timpakan atas dirinya. Dampak kalimat tersebut tentu akan sangat luar biasa dalam memotivasi kesabaran para difabel. Bahkan perhatian atas kalangan difabel ini dikomunikasikan sendiri melalui lisan Nabi yang mulia dengan menggunakan kalimat majas yang sangat halus agar dapat memuliakan dan menjaga perasaan mereka. Sebagaimana dalam sabdanya :
اِنْطَلِقُوْا بِنَا اِلَى بَنِى وَاقِفٍ نَزُوْرُ اْلبَصِيْرَ، رَجُلٌ كَانَ كَفِيْفَ اْلبَصَرِ
“Berangkatlah kalian bersama kami ke kediaman Bani Waqif, kita akan mengunjungi Bashir (orang yang memiliki penglihatan), laki-laki yang buta matanya.” (HR. Al Baihaqi dalam kitab As Sunan Al Kubro: 21372)
Rasulullah menggunakan kata “al bashiir”, sebagai majas untuk menerangkan seseorang yang tunanetra. Suatu hal yang sangat indah atas kelembutan dan kehalusan bahasa Nabi dalam memperlakukan kalangan difabel ini. Bahkan Rasulullah pada kesempatan yang lain sangat menjaga perasaan mereka dengan mengunjungi dan memenuhi permintaan mereka. Disebutkan dalam sebuah hadits:
أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ وَهُوَ أَعْمَى وَأَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا تَكُونُ الظُّلْمَةُ وَالسَّيْلُ وَأَنَا رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ فَصَلِّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فِي بَيْتِي مَكَانًا أَتَّخِذُهُ مُصَلَّى فَجَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ فَأَشَارَ إِلَى مَكَانٍ مِنْ الْبَيْتِ فَصَلَّى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Sesungguhnya ‘Itbân bin Mâlik dulu mengimami kaumnya padahal beliau buta. Beliau berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Rasûlullâh sesungguhnya terjadi kegelapan dan banjir padahal saya buta. Wahai Rasûlullâh ! shalatlah di rumahku di satu tempat yang akan aku jadikan sebagai tempat shalatku.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan bertanya, ‘Kamu menginginkan saya shalat dimana ?’ ‘Itbân memberi isyarat ke satu tempat dirumahnya. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di sana. (HR. Bukhari no. 625)
Pemuliaan terhadap kalangan difabel ini juga ditegaskan oleh Allah swt di dalam al quran surat an Nur ayat 61 yang memberikan arahan kepada ummat manusia untuk berinteraksi dengan mereka secara normal selayaknya kehidupan manusia pada umumnya, seperti saling silaturrahim, makan minum bersama, dalam pola interaksi lainnya dan tidak boleh membeda-bedakan dalam menjalin hubungan interaksi antar mereka. Oleh karena itu Rasulullah juga melibatkan mereka kalangan difabel dalam berbagai aktifitas kemanusiaan lainnya, seperti memberi tugas sebagai muadzin bahkan memberikannya jabatan penting sebagai pemegang otoritas. Menurut Anas bin Malik bahwa Rasulullah menunjuk Ibnu Ummi Maktum sebagai penanggung jawab Madinah dua kali, dan dia juga menjadi imam shalat sekalipun dia buta (HR. Abu Dawud, no. 2931 dan Ahmad, no. 11935)
Bahkan Rasulullah akan marah manakala ada seseorang yang merendahkan bahkan mencela seorang difabel. Sebagaimana dalam riwayat Ibnu Abbas mengatakan, “Rasulullah bersabda, ‘Orang yang mengutuk ayahnya adalah orang terkutuk; orang yang mengutuk ibunya terkutuk; orang yang memberi tahu orang buta arah yang adalah orang salah dan menyebabkan dia tersesat adalah orang terkutuk (HR. Ahmad no.1878)
Berbagai bukti-bukti teks di atas menunjukkan bahwa perspektif profetik sangat memberikan perhatian terhadap persoalan komunikasi disabilitas ini dengan maksud untuk memberikan penghargaan dan pemuliaan agar mereka merasa diperlakukan secara sama dan sederajat dengan manusia normal lainnya. Karena memang sejatinya Islam adalah agama yang memuliakan manusia.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen Fisip UB