oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Salah satu sifat dasar manusia adalah bahwa setiap orang merasa dirinya baik sehingga tentu dia tidak akan rela disaat dirinya dijelek-jelekkan, dicela atau dihina terlebih jika dihadapan orang lain. Hal substantif dalam diri seseorang adalah keyakinan yang dimilikinya. Mencela keyakinan sebenarnya adalah mencela hal prinsip dalam diri seseorang. Keyakinan adalah sesuatu yang dianggap benar dan melandasi pola pikir dan gerak langkah seseorang. Mempersuasi keyakinan pada orang lain membutuhkan effort (usaha) yang sungguh-sungguh bukan pada ranah fisik. Merubah keyakinan tidaklah semudah membalikkan tangan. Keyakinan adalah produk berpikir yang bersifat intangible.
Tindakan menghina atau mencela adalah suatu tindakan yang bersifat resiprokal (berbalas) karena dibangun atas dasar konflik. Seseorang akan mudah merespon suatu pesan negatif sebagai bentuk perwujudan dari naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa’). Sehingga tindakan mencela amatlah dilarang dalam agama Islam bahkan jika hal itu mencela sesama saudara seiman diibaratkan dengan memakan daging saudaranya yang sudah mati. Sementara jika mencela keyakinan orang lain yang bersifat prinsip akan sangat berdampak negatif dalam konflik komunikasi karena dianggap masuk ke ramah yang sangat sensitif. Yaitu akan berbalas celaan yang lebih dahsyat atas keyakinan agama ini disebabkan kebencian dan ketidaktahuan atas konsep keyakinan. Sebuah keyakinan bersifat kolektif yaitu dibangun oleh sebuah keyakinan dalam diri subjektif dari setiap anggotanya. Karena itu perspektif profetik melarang untuk menghina keyakinan atau agama orang lain.
وَلَا تَسُبُّواْ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّواْ ٱللَّهَ عَدۡوَۢا بِغَيۡرِ عِلۡمٖۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمۡ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرۡجِعُهُمۡ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-An’am, Ayat 108)
Nilai Keyakinan akan melahirkan rasa memiliki (sense of belonging) dan menganggap baik atas apa yang dikerjakan serta melahirkan sikap fanatisme kelompok. Sebagaimana disampaikan dalam ayat tersebut. Serta ditegaskan dalam ayat berikut atas sikap fanatisme :
مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعٗاۖ كُلُّ حِزۡبِۭ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ
yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS. Ar-Rum, Ayat 32)
Kalimat كُلُّ حِزۡبِۭ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ ini disebutkan dua kali dalam alquran, yaitu di surat ar rum ayat 32 dan surat al mukminun ayat 53. Ayat ini memberikan kesan bahwa suatu kelompok memiliki naluri fanatisme yang dibangun dari loyalitas atas sebuah keyakinan. Respon resiprokal dari orang lain atas keyakinan yang berbeda manakala tidak didasari atas saling pengertian maka akan melahirkan konflik yang sangat berdampak.
Karena itulah dalam perspektif profetik memberikan arahan tentang bagaimana komunikasi menghadapi perbedaan keyakinan, yaitu melalui mekanisme komunikasi hikmah, komunikasi mauidhah hasanah dan komunikasi jidal atau mujadalah. Sebagaimana disebutkan dalam teks sumber wahyu :
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl, Ayat 125)
Tiga metode komunikasi profetik dalam mengkomunikasikan antar keyakinan serta menekan munculnya fanatisme adalah pertama komunikasi hikmah, menurut Syeh Mustafa Al-Maroghi dalam tafsirnya mengatakan bahwa hikmah yaitu; perkataan yang jelas dan tegas disertai dengan dalil yang dapat mempertegas kebenaran, dan dapat menghilangkan keragu-raguan. Yaitu dengan mengungkapkan argumentasi dalil melalui teks sumber wahyu dan sunnah atau hadits nabi (sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya). Kedua, komunikasi mau’idhah adalah memberi peringatan kepada orang lain dengan menyampaikan pahala atas tindakan kebaikan dan siksa atas tindakan kemungkaran yang dapat menaklukkan hati. Ketiga, komunikasi mujadalah, atau dengan cara tukar menukar berpikir melalui mekanisme diskusi atau berdebat dengan cara yang terbaik menurut Imam al Ghazali dalam kitab Ikhya’ Ulumuddin menegaskan agar orang-orang yang melakukan tukar pikiran itu tidak boleh beranggapan bahwa yang satu sebagai lawan bagi yang lainnya, tetapi mereka harus menganggap bahwa para peserta mujadalah atau diskusi itu sebagai kawan yang saling tolong-menolong dalam mencapai kebenaran.
Fanatisme sebenarnya terjadi disebabkan seseorang memahami sebuah keyakinan tanpa didasari ilmu dengan keterbatasan wawasan yang sempit serta tidak dilakukan diskusi atau tukar fikiran dengan pemahaman yang berbeda. Fanatisme adalah bentuk sikap meremehkan dan skeptif atas pemikiran yang berbeda sehingga mudah menyalahkan pemahaman orang lain. Prof. Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki cakrawala yang luas tentu tidak akan mudah protes dan menyalahkan orang lain yang berbeda. Artinya fanatisme bukanlah bentuk loyalitas yang benar melainkan sikap yang didasarkan atas sempitnya wawasan seseorang atas suatu persoalan.
Untuk itu untuk meminimalkan sifat fanatisme kelompok yang berlebihan maka perlu upaya untuk membuka diri mengenali pemahaman kelompok yang berbeda adalah dengan melakukan dialog. Istilah teman saya, “perbanyak melakukan piknik, jangan kurang piknik” maksudnya belajar mencoba membuka wawasan untuk mengenali pemahaman orang lain yang berbeda.
Namun batasan utama dalam upaya membangun saling pengertian itu adalah selama hal demikian tidak memgaburkan pemahaman semula serta tidak melakukan campur aduk antar keyakinan. Biarlah masing-masingnya memahami keyakinannya serta dengan hati terbuka dan pikiran yang luas serta kecerdasan spiritual yang mendalam dapat memilih kebenaran dengan penuh kesadaran tanpa paksaan dan tanpa saling menghina dan mencela keyakinan yang berbeda. Karena kebenaran telah jelas dan keburukan pun telah jelas, hanya akal yang sehat dan hati yang bersih dapat melabuhkan pilihannya. Lakum diinukum waliyadiin.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen Fisip UB