oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Salah satu tujuan dari komunikasi adalah untuk melakukan persuasi serta mempengaruhi orang lain sebagaimana maksud dari komunikator. Dalam aspek komunikasi sosial maka salah satu tujuan dari komunikasi adalah untuk mempersuasi publik agar bersedia melakukan perubahan sebagaimana yang diharapkan (perubahan kebaikan). Dalam menjalankan fungsinya sebagai komunikasi sosial dengan tujuan persuasi perubahan, komunikasi profetik pada konteks ini mengetengahkan suatu strategi komunikasi persuasi perubahan sosial sebagaimana disebutkan dalam teks sumber wahyu berikut :
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl, Ayat 125)
Teks sumber wahyu ini dapat dianalisa bahwa kalimat ini diawali dengan kata kerja perintah (fiil amar), yaitu kata “ud’u” artinya ajaklah atau serulah. Suatu kata perintah aktif (fi’il muta’addi) harusnya membutuhkan objek (maf’ul bih) yang menjadi seruan perintahnya. Namun dalam kalimat tersebut objek tidak disebutkan. Ini sama dengan kata “iqra” dalam surat al ‘Alaq, wahyu pertama, harusnya ada kejelasan objek apa yang harus dibaca namun hal tersebut tidak disebutkan. Hal ini mengandung pengertian bahwa semuanya harus dibaca tanpa ada batasan, semuanya harus dipelajari selama bermanfaat bagi kehidupan kecuali buku atau ilmu yang tidak diperlukan untuk kehidupan dunia akhirat atau bahkan membahayakan.
Kalimat “ud’u” serulah, tanpa menjelaskan objek siapa yang harus diajak maka hal ini mengandung pengertian bahwa mengajak atau menyeru pada kebaikan itu ditujukan pada siapa saja tanpa ada pembatasan pada suatu kelompok, komunitas, wilayah, kultur dan sebagainya. Semua mereka, ummat manusia, siapapun, dimanapun, kapanpun haruslah diajak atau diseru untuk melakukan perubahan sosial menuju ke arah kebaikan. Serta menyeru pada perubahan kebaikan haruslah terus dilakukan dan tidak boleh berhenti. Sebab siapa saja yang merasa telah sampai pada suatu titik tujuan maka sejatinya dia belum sampai. Perubahan sosial adalah tindakan yang terus menerus harus dilakukan berupa terus melakukan pengembangan menuju kebaikan (continous improvement)
Metode mengajak atau menyeru pada realitas sosial yang penuh kebaikan pun telah dijelaskan dengan sangat gamblang dalam teks wahyu tersebut yaitu dengan cara Bil Hikmah. Kata hikmah adalah kata yang telah mencakup segalanya dan dijelaskan kandungannya melalui kata setelahnya yaitu dengan cara mauidhah hasanah (nasehat yang baik) serta mujadalah (berdiskusi atau berdebat dengan cara terbaik). Frasa “hikmah” adalah sebuah jawami’ul kalim yaitu suatu kata yang singkat namun memiliki kandungan isi yang sangat padat sesuai dengan apa yang dimaksudkan.
Hikmah memiliki beragam makna, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Qamus al Quran, auw Ishlahul wujuuh wa an madhair, ditulis oleh Husain bin Muhammad ad Damaghani, bahwa hikmah bisa berarti : mau’idhah (nasehat), al hukm (pemahaman dan ilmu), an nubuwah, alquran. Beragam makna ini sebenarnya merujuk pada alquran sebagai pusat pembendaharaan ilmu dan pemahaman yang menjadi topik utama landasan dalam memberikan arahan perubahan sosial.
Hikmah berasal dari akar kata al hukm yang bermakna mencegah, berarti dengan hikmah bisa menghindarkan pemiliknya terjatuh ke dalam kesalahan dan kesesatan. Artinya seorang komunikator haruslah mampu menjaga dirinya dari kesalahan sekecil apapun serta meminimalkan segala bentuk apapun kesalahan dalam ucapan maupun perbuatan sehingga dapat mengarahkan orang menuju perubahan sosial dengan baik sebab memiliki kredibilitas personal yang baik dan layak menjadi panutan dalam mengarahkan dan mempersuasi perubahan sosial.
Hikmah juga bermakna pemahaman dan ilmu, artinya seorang komunikator adalah seseorang harusnya menguasai dan memahami ilmu secara detail dan mnndalam sehingga seorang komunikatot sekaligus fasilitator perubahan haruslah memiliki kompetensi dasar personal berupa ilmu sebagai landasan sebuah perubahan. Sehingga seorang fasilitator perubahan adalah orang yang bersemangat dalam menuntut ilmu dan terus menerus merasa tidak puas dengan apa yang diperolehnya untuk terus dapat menggali. Karena seseorang yang merasa telah sampai maka sejatinya dia belum sampai. Barang siapa yang merasa telah tahu maka sejatinya dia tidak tahu. Sehingga seorang perubah (agent of change) harus terus memperluas wawasannya sebab perubahan adalah sebuah realitas yang terus berkembang sangat dinamis.
Metode Hikmah juga bisa dilakukan dengan cara mau’idhah hasanah yaitu memberi nasihat atau memotivasi dengan cara terbaik penuh kelembutan dan kasih sayang serta kepedulian untuk memahami dan bersedia mengerti realitas dan keadaan serta perasaan publik dalam setiap tahapan proses perubahan. Dalam melakukan persuasi perubahan sosial tentu seorang komunikator atau fasilitator perlu memiliki hati yang hidup untuk merasakan setiap harapan publik. Tentu pula dibutuhkan kesungguh sungguhan dan keikhlasan dalam melakukan komunikasi persuasi perubahan. Komunikasi yang keluar dari hati akan masuk ke dalam hati sementara bahasa lisan hanya akan diterima oleh telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Suatu proses komunikasi yang tidak dilandasi ketulusan, berbeda antara komunikasi lisan dengan bahasa kejujuran hati. Maka disini butuh keteladanan.
… يَقُولُونَ بِأَفۡوَٰهِهِم مَّا لَيۡسَ فِي قُلُوبِهِمۡۚ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا يَكۡتُمُونَ
… Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak sesuai dengan isi hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. (QS Ali ‘Imran, Ayat 167)
Metode Hikmah juga bisa dilakukan dengan cara mujadalah yaitu berdialog dengan cara yang terbaik pula memperhatikan kaidah-kaidah diskusi atau dialog yang bermartabat. Dialog berarti kesediaan bertukar ide dengan mengkomunikasi keinginan secara terbuka dan mencoba mendengarkan pula keinginan publik atas ide perubahan dan bersedia membuka diri menerima pikiran dan ide-ide mereka (two way communication). Perubahan yang kuat mengakar apabila bermula dari proses dialogis kedua belah pihak, antara komunikator (agen perubah) atau bisa pula dalam hal ini pemangku kebijakan di satu sisi dengan masyarakat umum disisi yang lain. Upaya saling membuka ruang untuk bertukar ide tentang apa yang diinginkan atas realitas sosial ideal yang terkomunikasikan dengan baik serta keterlibatan tinggi semua pihak, maka akan memudahkan terjadinya sebuah perubahan yang diharapkan. Sekalipun tentunya ide perubahan dan konstruksi ideal perubahan secara profetik haruslah merujuk pada apa yang diinginkan oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam alquran, hadits nabi atas realitas ideal yang diharapkan.
Manakala metode bil hikmah dapat berjalan dengan baik, melalui proses motivasi dan penyadaran dengan pemberian nasihat yang baik (mau’idhah hasanah) serta partisipaai aktif semua komponen masyarakat dalam bingkai pemahaman yang tinggi atas konsepsi idealisme Islam maka tentu perubahan yang dimaksudnya akan menjadi sebuah keniscayaan realitas. Itulah realitas masyarakat madinah (civil society) yang telah pernah dipraktekkan oleh nabi dengan menggunakan metode bil hikmah ini secara sempurna dengan haskl yang sangat mengagumkan.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB