oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Sumber mendasar dalam komunikasi profetik selain teks sumber wahyu adalah teks hadits Nabi. Al quran dan hadits Nabi adalah sumber utama yang melandasi semua pemikiran dan seluruh aktifitas atau tindakan manusia dalam menjalani kehidupan. Peran keduanya amat sentral dalam kehidupan, sebab sumber yang pertama bersifat absolut karena langsung bersumber dari Tuhan Allah sebagai wahyu. Sementara sumber yang kedua juga demikian, karena seluruh ucapan dan tindakan Nabi bukanlah atas kehendak personalitasnya melainkan semata juga bersumber dari wahyu. Sebagaimana ditegaskan dalam teks sumber wahyu :
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. (QS. Al-Ahzab, Ayat 21)
Al Hadits adalah semua ucapan, tindakan, perilaku, ketetapan termasuk diamnya Nabi sebagai tanda persetujuan atas suatu persoalan atau realitas tertentu. Intinya adalah segala hal yang bersumber dari Nabi sallallahu alaihi wasallam dalam segala aspeknya. Artinya semua hal terkait produksi pesan dari Nabi Muhammad saw dalam beliau berinteraksi dengan apapun dan siapapun sebagai sebuah keteladanan bagi ummat manusia.
Al Hadits adalah konstruksi realitas yang dibangun oleh Rasulullah saw melalui beragam proses interaksi dengan segala problematikanya dengan keteladanan terbaik dan mampu menghasilkan realitas terbaik sepanjang sejarah ummat manusia dengan pencapaian terbaik dalam mendidik masyarakat melalui sebuah perubahan menuju terciptanya realitas peradaban terbaik dunia. Segala hal yang dikonstruksi oleh Rasulullah ini diyakini oleh semua kalangan untuk dapat dijadikan landasan sekaligus contoh dalam membangun realitas masyarakat yang terbaik pula.
Hadits menampilkan dokumen teks tentang keteladanan Nabi dalam interaksi dengan beragam realitas pada berbagai kalangan. Baik dalam kaitannya dengan interaksi personal (intrapersonal communication), hubungan antar manusia (interpersonal communication), interaksi dalam keluarga (family communication), interaksi dengan ummat yang berbeda (social communication and intercultural communication), interaksi dengan alam sekitar (environment) termasuk dalam mensikapi bencana (disaster communication), dalam hubungannya dengan kesehatan diri atau masyarakat (healt communication), bahkan pula keteladanan beliau dalam memimpin dan mengelola ummah (leadership and organization communication) serta dengan banyak realitas interaksi lainnya.
Ilmu pengetahuan tidaklah hanya dilahirkan dari konstruksi ide pemikiran yang bersifat idealis imajinatif, pandangan ini dipahami oleh kalangan rasionalisme sebagaimana digagas oleh Plato, yang memahami bahwa ilmu pengetahuan diperoleh dari hasil dari proses berpikir. Disisi lain, ilmu pengetahuan juga dipahami sebagai hasil dari pergulatan aksi dalam tindakan realitas sehingga melahirkan cara pandang empirisme sebagaimana yang digagas oleh Aristoteles. Cara pandang empirisme ini memahami bahwa ilmu pengetahuan diperoleh dari inspirasi pengalaman manusia, berupa tindakan nyata dalam menginteraksikan pikiran dengan realitas yang nyata dengan beragam problematikanya sehingga melahirkan ilmu pengetahuan.
Sementara hadits adalah konstruksi atas pengalaman riil yang dilakukan oleh Rasulullah dengan beragam interaksinya dalam realitas dengan mendasarkan pada perintah sumber wahyu. Sehingga hadits, yang dalam pengertiannya berupa ucapan, tindakan, diam dan persetujuan nabi sesungguhnya adalah pengejawantahan daripada alquran. Sehingga dikatakan bahwa akhlaq tindakan nabi adalah akhlaq alquran. Jika alquran berisi dasar-dasar konsepsi dan aturan yang sifatnya berada dalam ranah pikiran, maka hadits atau tindakan Rasulullah adalah menterjemahkan secara nyata apa yang dikonstruksi oleh alquran dalam bentuk perilaku dan tindakan keseharian serta hubungan sosial empiris. Dalam tindakan empiris melalui interaksi berbagai realitas itu itulah maka dapat digali inspirasinya untuk dijadikan konstruksi dasar ilmu pengetahuan.
Disaat Rasulullah menampakkan sifat kerendahan hati dengan memperbaiki sandal dan menambal bajunya dengan tangannya sendiri sebenarnya hal demikian sedang menjelaskan tentang keterampilan komunikasi intrapersonal Nabi yang hebat didasari oleh semangat tanggungjawab dan tidak ingin menyusahkan orang lain. Demikian pula tindakan Nabi yang rela menyapa anak-anak saat mereka berjalan melewati beliau atau beliau bersedia duduk bersosialisasi bersama orang-orang miskin, serta beliau biasa berjalan dengan anak-anak yatim, janda serta bersedia menghadiri undangan dari siapapun yang mengundangnya, maka semua itu sebenarnya sedang memberikan inspirasi tentang keteladanan dalam komunikasi antar manusia (interpersonal communication). Demikian pula disaat Nabi suka memuji istrinya (khadijah), tidak ragu untuk menyatakan rasa cinta pada istrinya, memanggil dengan panggilan kesayangan, mencium istrinya sebelum meninggalkan rumah, membantu pekerjaan rumah dengan istrinya, maka semua itu sebenarnya sedang memberikan inspirasi tentang komunikasi keluarga (family communication)
Demikian pula, tindakan Nabi yang bersedia mendengarkan pendapat para sahabatnya dalam berbagai kesempatan, menerima masukan tentang suatu keputusan saat perang, memberi tugas kepada para sahabatnya sesuai dengan bidang keahliannya, mendorong saling peduli kepada para sahabat lainnya, maka tindakan ini sebenarnya sedang memberikan inspirasi tentang keteladanan dalam komunikasi organisasi dan kepemimpinan. Serta kesediaan nabi untuk bersabar atas berbagai pertanyaan kalangan badui, bersikap toleran atas sikap kasar mereka, menghormati para pembesar suatu kaum, memberikan tugas kepada para sahabatnya untuk mempelajari suatu bahasa tertentu, maka sebenarnya hal ini sedang memberikan inspirasi tentang pentingnya kemampuan komunikasi antar budaya dari realitas yang berbeda.
Oleh karena itu maka sebenarnya hadits adalah petunjuk nyata dan bentuk implementasi serta contoh riil dari teks sumber wahyu dalam tindakan nyata yang membentuk realitas. Sehingga amat layak manakala hadits menjadi landasan dalam menyusun dasar konstruksi keilmuan bidang komunikasi profetik yang tidak hanya sekedar dipahami sebagai sebuah konsepsi etis belaka.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB