oleh | Akhmad Muwafik Saleh_
Perspektif profetik membagi kualitas komunikasi antar manusia dalam dua bagian besar, yaitu komunikasi yang buruk dan dilarang, meliputi komunikasi dengan maksud menebar berita bohong, komunikasi yang penuh cacian kebencian (hate speech), komunikasi untuk memata-matai (tajassus), komunikasi yang dibangun atas dasar iri dengki, komunikasi yang penuh amarah, penuh kesombongan, bernada kasar dan jauh dari kelembutan, komunikasi yang penuh kesia-siaan (laghwu).
Sementara komunikasi yang baik adalah komunikasi yang dimaksudkan untuk menebarkan kebaikan, menyeru orang lain untuk berbuat baik dan mencegah dari kemungkaran serta komunikasi yang mampu meneguhkan identitas diri sebagai seorang yang beriman. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam teks sumber wahyu berikut :
وَمَنۡ أَحۡسَنُ قَوۡلٗا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ
Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?” (QS. Fushilat, Ayat 33)
Selain menetapkan kualitas komunikasi, perspektif profetik juga memberikan perhatian terhadap persoalan identitas, hal ini dapat dipahami secara implisit dalam teks sumber wahyu diatas. Identitas dalam perspektif profetik merupakan hasil dari proses pemahaman atas nilai-nilai dasar profetik yaitu nilai dasar keimanan yang membedakan dirinya dengan yang lain. Identitas adalah ciri khas dari keadaan seseorang yang membedakan dirinya dengan orang lainnya dari proses pembentukan pemahaman yang berbeda. Identitas dipahami sebagai perwujudan dari pemahaman atas nilai-nilai keyakinan dan formulasi praktis atas konsepsi aturan yang melandasi setiap perilaku.
Pentingnya identitas ini diungkapkan secara eksplisit oleh Nabi dalam sabdanya :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “
“Barangsiapa yang meniru satu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Sebagaimana pula dalam sabdanya,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami, orang yang menyerupai (tasyabbuh) dengan selain kami.” (HR Tirmidzi)
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata;
“Hadits ini menunjukkan larangan yang keras, peringatan, dan ancaman atas perbuatan menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan, pakaian, hari-hari raya, dan peribadahan mereka, serta perkara mereka yang lain yang tidak disyariatkan bagi kita dan syariat kita tidak mentaqrir (menyetujui)nya untuk kita.”
Artinya bahwa Rasulullah sangat menekankan pentingnya identitas yang khas bagi seorang muslim yang berbeda dan tidak meniru orang lain baik dari pemikiran, tindakan hingga penampilan bahkan seseorang yang meniru orang lain dianggap bagian dari mereka yang ditiru, dan tidak menjadi bagian dari internal kelompok. Hal ini untuk menekankan pentingnya sebuah identitas dan karakretistik pembeda.
Apabila dicermati lebih mendalam pada berbagai konsep dalam Islam maka dapat ditemukan bahwa perspektif profetik membagi identitas dalam tiga ranah penting, yaitu identitas berpikir, identitas perilaku dan identitas penampilan. Pertama, identitas pemikiran adalah hal mendasar dari semua identitas yang melandasi identitas lainnya karena tindakan dan penampilan adalah hasil formulasi dari sebuah pemahaman konsepsi pemikiran. Identitas pemikiran ini dibangun dari konsepsi dasar keyakinan yaitu pemahaman dasar keimanan bahwa tiada tuhan selain Allah yang bersifat Esa tiada duanya dan tiada yang menyerupainya satupun, memahami bahwa terdapat hubungan korelatif dan saling berpengaruh antara kehidupan dunia dan akhirat, serta konsepsi profetik memiliki ruang cakupan yang komprehensif dalam semua aspek interaksi kehidupan manusia, baik yang terkait dengan diri personal, hubungan sosial kemasyarakatan, muamalah ekonomi, politik, budaya dan beragam interaksi manusia lainnya. Karakteristik pemikiran profetik juga bersifat universal dan praktis implementatif yaitu bisa diterapkan secara nyata dan bukan sekedar konsepsi khayali yang penuh idealisme namun jauh dari realitas.
Kedua, identitas perilaku yaitu dibangun atas dasar niat (motiv) kebaikan, menegakkan kebenaran dan menolak kemungkaran dalam bangunan prinsip tawashau bil haq. Setiap perilaku berlandaskan dan terikat pada aturan ilahiyah, serta dilakukan secara ikhlas dengan mengikuti keteladanan profetik. Karakteristik perilaku lainnya adalah berlaku adil terhadap siapapun, menebarkan kasih sayang dan salam keselamatan sebagai wujud konsep rahmatan lil ‘alamin, mengedepankan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri, meneguhkan sikap saling membantu dan tolong menolong pada sesama ibarat satu tubuh dan bangunan yang satu. Serta pertengahan dalam bersikap (wasathiyah), tidak berlaku ekstrem dan berlebihan (ghuluw), bersikap seimbang (tawazun).
Ketiga, identitas penampilan yaitu dibangun atas prinsip menutup aurat (sesuatu yang memang seharusnya ditutupi), menampilkan yang terbaik agar tampak indah namun tetap etis dan tidak berlebihan (tabarruj), mengedepankan kebersihan (terkait fisik penampilan) dan terlebih pula adalah kesucian (aspek kandungan dan nilai yang melekat dalam penampilan fisik), tidak meniru dan menyerupai lawan jenis, serta menjauhkan diri dari sifat kesombongan dan menekankan pada aspek kesederhanaan.
Kekuatan identitas akan menegaskan karakteritik dan menguatkan nilai kebersamaan serta memperkuat keberlangsungan ritual sehingga setiap orang mampu mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari sebuah kelompok dan membedakan diri dengan kelompok lain serta menguatkan rasa memiliki (sense of belonging) atas kelompok, dalam hal ini adalah kelompok profetik (jalan kenabian).
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB