KANAL24, Malang – Draft Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga yang dinilai terlalu masuk ke dalam ranah privat seseorang, menuai banyak kritik salah satunya dari pakar ilmu politik Universitas Brawijaya Tri Hendra Wahyudi, S.IP., M.IP. Menurutnya, yang perlu dilihat dari RUU Ketahanan Keluarga ini adalah ideologi yang bekerja dibalik perumusan RUU ini.
“Saya melihat RUU ini dirumuskan dalam konteks bukan untuk melindungi perempuan tetapi justru untuk mendomestifikasi perempuan. Jadi, RUU ini justru melegitimasi bahwa urusan perempuan di wilayah domestik (rumah tangga), sementara urusan laki-laki itu di ranah publik, seperti mencari uang, terlibat dalam urusan politik, dan sebagainya,” kata Hendra, kamis (12/3/2020).
Lanjutnya, sebelum membuat draft RUU ini lebih baik hilangkan dulu pemahaman bahwa perempuan harus mengurusi urusan rumah sedangkan laki-laki mengurus urusan publik. Hilangkan soal domestifikasi perempuan atau dikotomi antara laki-laki dan perempuan di ranah publik dan ranah domestik. Boleh setelah itu bicara soal RUU Ketahanan Keluarga, sehingga cara pandangnya menjadi fair.
Alumni Unair tersebut berpendapat tidak masalah apabila terjadi kebalikannya, perempuan yang bekerja sedangkan laki-laki yang mengurusi urusan rumah, sepanjang ada kesepakatan bersama dalam konteks keluarga untuk pembagian peran tersebut.
“Dalam sistem masyarakat yang masih patriarki seperti di Indonesia saat ini, RUU itu menjadi sangat menjerumuskan terhadap perempuan. Kalau situasi sosialnya sudah egaliter, perempuan dan laki-laki sudah setara, tidak ada lagi dikotomi publik privat laki-laki dan perempuan, itu tidak apa-apa dibikin RUU semcam ini, tetapi tentunya dengan diksi-diksi yang harus lebih adil,” jelasnya.
Secara hukum, RUU Ketahanan Keluarga justru akan memperumit sistem perundang-undangan di Indonesia, semakin banyak celah bagi Pemerintah untuk masuk mengurusi ranah privat dari seseorang atau keluarga.
“Menurut saya tidak penting RUU semacam ini, kalau di negara-negara demokratis sepengetahuan saya tidak ada RUU semacam ini. Tidak penting sekali karena urusan rumah tangga itu urusan privat, kalau bicara soal ketahanan keluarga mungkin perlu diatur dalam UU yang sifatnya lebih umum, bukan bicara tentang ketahanan keluarga tetapi soal ketahanan sosial secara umum. Daripada membuat UU baru, lebih baik revisi saja UU Perkawinan yang sudah berusia hampir 50 tahun itu. Supaya tidak terjadi penumpukan pasal yang mengatur soal keluarga,” pungkasnya. (meg)