oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Dalam sebuah atsar sahabat yang cukup panjang tercatat sebuah peristiwa tentang sikap para sahabat dalam menghadapi suatu wabah penyakit tha’un yang pernah terjadi pada tahun 18 H, hari itu Khalifah Umar bin Khattab ra bersama para sahabatnya berjalan dari Madinah menuju negeri Syam.
Mereka kemudian berhenti di daerah perbatasan sebelum memasuki Syam karena mendengar ada wabah Tha’un Amwas yang melanda negeri tersebut. Abu Ubaidah bin Al Jarrah, seorang sahabat Nabi yang ditugasi oleh Amirul mukminin sebagai Gubernur Syam ketika itu datang ke perbatasan untuk menemui rombongan.
Kemudian terjadi diskusi diantara para sahabat dengan amirul mukmini tentang bagaimana sikap yang harus mereka ambil, apakah mereka tetap masuk atau pulang ke Madinah. Umar kemudian meminta saran kepada kaum Muhajirin, Anshar, dan orang-orang yang ikut Fathu Makkah. Mereka semua berbeda pendapat. Bahkan Abu Ubaidah ra menginginkan mereka masuk, dan berkata mengapa engkau lari dari takdir Allah SWT?
Lalu Umar ra menyanggahnya dan bertanya. “Jika kamu punya kambing dan ada dua lahan yang subur dan yang kering, kemana akan engkau arahkan kambingmu? Jika ke lahan kering itu adalah takdir Allah, dan jika ke lahan subur itu juga takdir Allah. Sesungguhnya dengan kami pulang, kita hanya berpindah dari takdir satu ke takdir yg lain.”
Akhirnya perbedaan itu berakhir ketika Abdurrahman bin Auf ra mengucapkan hadist Rasulullah SAW; “Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri. Maka, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada didaerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Akhirnya mereka pun pulang ke Madinah. Umar ra merasa tidak kuasa meninggalkan sahabat yang dikaguminya, Abu Ubaidah ra. Beliau pun menulis surat untuk mengajaknya ke Madinah. Namun beliau adalah Abu Ubaidah ra, yang hidup bersama rakyatnya dan mati bersama rakyatnya. Umar ra pun menangis membaca surat balasan itu. Dan bertambah tangisnya ketika mendengar Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal, Suhail bin Amr, dan sahabat-sahabat mulia lainnya radiyallahuanhum wafat karena wabah Tha’un di Negeri Syam.
Terdapat sekitar 20 ribu orang wafat karena wabah Tha’un yang jumlahnya hampir separuh penduduk Syam ketika itu. Pada akhirnya, wabah tersebut berhenti ketika sahabat Amr bin Ash ra memimpin Syam. Karena kecerdasan beliau lah yang menyelamatkan Syam. Amr bin Ash berkata: “Wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Jaga jaraklah dan berpencarlah kalian dengan menempatkan diri di gunung-gunung.” Mereka pun berpencar dan menempati di gunung-gunung. Akhirnya, wabah pun berhenti layaknya api yang padam karena tidak bisa lagi menemukan bahan yang dibakar.
Hal demikian persis sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits disaat ditanya kepada Usamah bin Zaid ‘Apa yang engkau dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang penyakit Tha’un? ‘ Jawab Usamah; ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah kolera) adalah semacam azab (siksaan) yang diturunkan Allah kepada Bani Israil atau kepada umat yang sebelum kamu. *Maka apabila kamu mendengar penyakit tha’un berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datang ke negeri itu. Dan apabila penyakit itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, janganlah kamu keluar dari negeri itu untuk melarikan diri dari padanya.*’ (HR. Muslim)
Itulah solusi profetik tentang bagaimana kebijakan yang harusnya diambil oleh penguasa disaat menghadapi kasus wabah di negerinya. Inilah strategi profetik itu, yaitu melakukan Lockdown atau menutup kota yang terkena wabah dengan cara melarang setiap orang untuk masuk mendatangi kota yang sedang diserang wabah tersebut serta melarang orang yang ada di dalam kota untuk keluar dari kota yang sedang terserang wabah. Hal ini dimaksudkan agar wabah tidak menyebar ke kota lainnya sehingga penguasa setempat lebih dapat berfokus untuk proses penanganan dan penyembuhan wabah tersebut di daerahnya dan kota lainnya tidak tersebar wabah yang sama.
Dalam kisah atsar sahabat tersebut juga menjelaskan tentang apa yang harusnya dilakukan oleh penguasa yaitu melakukan karantina terhadap rakyatnya dengan membuat jarak interaksi antar manusia agar tidak banyak berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya untuk meminimalkan proses penyebaran wabah penyakit itu. Hal ini dikenal dengan istilah social distancing measure. Yaitu setiap orang mengurangi interaksi sosial diantara mereka dengan menjaga jarak sehingga dapat memutus proses penyebaran wabah penyakit tersebut. sehingga para petugas medis agar dapat berfokus terhadap penyembuhan terhadap mereka yang sedang terjangkiti dan tidak disibukkan dengan proses penyebaran lainnya sebab telah dilakukan pemutusan hubungan penyebaran penyakit. Lalu menyerukan kepada seluruh penduduk negeri untuk memperbanyak bertaubat kepada Allah serta bersabar dan bertawakkal penuh kepadanya seraya terus berupaya secara serius mencari solusi medik untuk menanggulangi penyebarannya.
Mari perbanyak istighfar serta berdoa dan berdzikir meminta perlindungan kepada Allah swt dengan seraya terus mendekat padaNya dengan ibadah. Bacalah dzikir berikut untuk meminta perlindungan kepada Allah swt :
بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“(Aku berlindung) dengan Nama Allah yang bersama nama-Nya tidak ada sesuatu di bumi dna di langit yang bisa membahayakan. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Disaat sedang terjadi wabah virus corona atau Covid-19 seperti halnya saat ini maka solusi profetik ini patut untuk dijadikan acuan. Terdapat dua keuntungan manakala mengikuti solusi ini yaitu mendapatkan nilai keberkahan pahala sebab mengikuti jalan aturan sunnah nabi, kedua menjadi jalan dibukanya pintu keberkahan atas negeri karena kepatuhannya atas perintah profetik. Bagaimana sikap kita saat ini..???
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB