oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Komunikasi pelayanan publik adalah praktek komunikasi dalam kegiatan pelayanan kepada masyarakat yang dilandasi oleh semangat memberikan yang terbaik melalui produksi pesan dan konstruksi sikap yang mampu membuat pihak lain (publik) merasa nyaman disaat mendapatkan pelayanan. Kenyamanan dalam berkomunikasi akan terjadi manakala semua pihak khususnya pemberi layanan mampu menghormati pihak lain (publik) dengan cara yang dipersepsi baik oleh mereka.
Komunikasi sejatinya adalah transaksi pengaruh melalui penyusunan pesan verbal dan non verbal yang mampu mempersuasi orang lain untuk menanggapinya sebagaimana yang dimaksudkan oleh pembuat pesan komunikasi. Proses timbal balik dalam mekanisme mutualisme yang akan membuat kedua belah pihak manpu mewujudkan realitas yang diharapkan. Dalam kegiatan komunikasi pelayanan publik, realitas yang diharapkan adalah kedua belah pihak dapat saling memahami dan saling berpartisipasi dalam mewujudkan visi misi lembaga pemberi layanan.
Secara profetik, komunikasi pelayanan publik sebagaimana tersebut diatas dibangun atas dasar saling menghormati dan pengertian, dijelaskan secara transendental dalam Firman Allah swt berikut :
وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٖ فَحَيُّواْ بِأَحۡسَنَ مِنۡهَآ أَوۡ رُدُّوهَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ حَسِيبًا
Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu (QS. An-Nisa’, Ayat 86)
Pendekatan profetik memberikan arahan tentang pentingnya menciptakan kepuasan layanan yaitu suatu tindakan dalam memberikan pelayanan melebihi dari apa yang di bayangkan (beyond expectation) atau diharapkan oleh pelanggan hal ini terungkap dalam teks sumber Wahyu dengan menggunakan kata “ahsana minha” yang berarti memberikan pelayanan melebihi dari apa yang mereka harapkan.
Konsep beyond haruslah mendasari setiap tindakan kebijakan dari lembaga layanan di dalam memberikan layanan dan fasilitasi pemenuhan kebutuhan publik. Konsep ini mendorong setiap orang dari petugas layanan untuk berpikir kreatif guna menemukan ide ide inovatif pelayanan sehingga mampu membuat kepuasan publik melampaui dari apa apa yang dia harapkan sebelumnya ya itu melebihi dari kebutuhan dasar pelayanan.
Strategi komunikasi pelayanan yang melebihi dari ekspektasi haruslah lebih di dahulukan dan diutamakan daripada hanya sekedar memberikan pelayanan minimal yaitu batas nilai kebutuhan yang diharapkan oleh masyarakat. Hal ini tampak pada penyebutan kalimat “ahsana minha” didahulukan daripada kalimat “aw rudduuhaa”. Hal ini memberikan sebuah kesan bahwa lembaga layanan haruslah mengetahui batas kebutuhan minimal publik sehingga dapat disusun strategi komunikasi pelayanan agar melampaui dari nilai minimal kebutuhan tersebut, dengan cara mengoptimalkan seluruh potensi yang dimiliki untuk memberikan nilai lebih dari kebutuhan dasar.
Nilai sumber wahyu tersebut juga memberikan arahan pentingnya tindakan mutual dalam pelayanan yaitu sebuah pelayanan haruslah memperhatikan upaya untuk saling menghormati antara pemberi layanan dan penerima layanan. Keadaan seperti ini akan terwujud manakala kedua belah pihak mampu membangun kesepakatan bersama melalui proses pengenalan bersama pula. Inilah yang disebut dengan citizen charter (piagam warga). Citizen’s Charter atau Kontrak Pelayanan adalah hasil kesepakatan antara setidaknya dua pihak, penyelenggara dan pengguna pelayanan tentang praktek pelayanan yang akan diwujudkan. Sebuah kesepakatan bersama tentang bagaimana kedua belah pihak saling berupaya menghormati hak keduanya demi terwujudkan realitas masyarakat yang sejahtera melalui sebuah komunikasi pelayanan yang saling menguntungkan. Syarat utama dalam tindakan ini.adalah kesediaan untuk saling memahami dan peduli antar kedua belah pihak dan saling berkomitmen mewujudkan realitas kehidupan yang lebih baik.
Semangat citizen charter yang demikian itulah yang menjadi semangat nilai dalam sumber wahyu diatas dengan memberikan sebuah persyaratan yaitu kesediaan kedua belah pihak untuk saling menghormati, yang diwakili dengan kalimat “idza huyyiytum bitahiyyatin” sebuah kalimat yang menjelaskan bahwa realitas saling menghormati akan terwujud manakala keduanya bersedia menerima syarat bersama untuk bersepakat mewujudkan rasa keadilan dengan menghadirkan sikap tenggang rasa untuk saling menghargai. Karena dengan kesadaran bersamalah pelayanan publik yang mensejahterakan akan terwujud.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB