oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Salah satu ayat-ayat Alquran tentang komunikasi pelayanan publik menjelaskan bahwa dalam praktek komunikasi haruslah mampu membantu manusia melalui komunikasi yang saling menghormati, menghargai, empatik, yang diucapkan dengan cara yang terbaik. Sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
قَوۡلٞ مَّعۡرُوفٞ وَمَغۡفِرَةٌ خَيۡرٞ مِّن صَدَقَةٖ يَتۡبَعُهَآ أَذٗىۗ وَٱللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٞ
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya, Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah, Ayat 263)
Perkataan yang baik (qaulun ma’rufun) dapat meliputi cara di dalam memproduksi pesan, isi konten pesan yang disampaikan, cara di dalam menyampaikan pesan, serta cara dalam merespon orang lain. Perkataan yang baik adalah hasil dari proses penyusunan pesan dalam pikiran atau benak seseorang yang dipengaruhi oleh berbagai informasi sebelumnya (maklumat sabiqah) serta proses interaksi yang terjadi selama ini. Sebab pesan yang terungkap ibarat tumpahan dari apa yang memenuhi pikiran seseorang. Manakala yang memenuhi pikiran adalah pengalaman positif maka yang terungkap dalam pesan saat interaksi adalah positif pula. Demikian pula sebaliknya, apabila dalam pikirannya dipenuhi pengalaman dan infornasi negatif maka yang akan terungkap melalui pesan komunikasi saat interaksi adalah negatif pula.
Ayat tersebut memberikan arahan akan pentingnya menyusun pesan komunikasi yang baik dalam pelayanan, bermula dari lingkungan pengalaman, penyampaian pesan hingga merespon (feed back) terhadap orang lain. Penyampaian pesan yang baik terkait dengan konten atau isi pesan yaitu berupa pilihan kata atau diksi yang baik dan ramah pada orang lain disaat memberikan pelayanan ataupun saat berinteraksi. Sebuah kalimat yang dapat memberikan kesan keramahan, kesopanan dan penerimaan atas kehadiran atau keberadaan orang lain termasuk pula pilihan kata yang dipersepsi dapat menghormati orang lain. Sebagaimana pilihan antara kata “aku, saya atau kami” dalam sebuah pelayanan saat merujuk pada kedirian (self) diwaktu berinteraksi dengan orang lain. Maka tentu pilihan kata “kami” terkesan lebih menghormati orang lain dari pada kata “saya”. Demikian pula kata “saya” lebih dipersepsi menghormat dari pada kata “aku”. Pilihan kata yang tepat akan membangun persepsi yang akan diinterpretasi oleh setiap orang yang berinteraksi untuk kemudian memberikan penilaian, apakah orang tersebut dipersepsi ramah atau tidak.
Demikian pula dalam menyusun sikap dan respon (feed back) dalam interaksi dengan orang lain, maka seorang petugas pemberi layanan haruslah memperhatikan nilai kesopanan dan keramahan dalam bersikap yang ditunjukkan melalui sikap antusias, offensif dan bukan difensif. Sikap antusias tampak dalam wujudnya penuh senyuman, menghadapkan seluruh tubuh terhadap lawan bicara disaat sedang berbicara dengan orang lain, tatapan muka yang ramah disertai penuh perhatian yang ditunjukkan dengan anggukan kepala tanda penerimaan dan penghormatan, serta bersedia menjadi pendengar aktif dengan menghadirkan pertanyaan yang dapat membuat lawan bicara semakin tertarik dan antusias untuk berbicara. Karena salah satu sifat dasar manusia menyatakan bahwa setiap orang senang berbicara.
Komunikasi pelayanan publik lebih berfokus pada bagaimana suatu pesan komunikasi berlangsung dalam pelaksanaan pelayanan publik. Komunikasi dipersepsi bukan hanya semata penyusunan pesan verbal atau non verbal saja, namun semua tindakan termasuk gesture hingga penataan ruang, territori, bahkan manajemen pesan dalam membangun persepsi organisasi serta pola hubungan antara petugas pelayanan dengan publiknya, baik publik internal maupun publik eksternal, maka semua itu adalah bagian dari komunikasi. Dalam konteks ini maka komunikasi yang baik (qaulun ma’rufun) adalah segala aspek komunikasi yang tersebut diproduksi secara baik yang dapat memanusiakan manusia (human humanization).
Ayat tersebut diatas juga memberikan arahan tentang larangan untuk bersikap dan bertindak yang dapat menyakiti orang lain lain dalam proses pemberian pelayanan, sebagaimana disampaikan dalam ayat tersebut secara inspiratif melalui kalimat “yatba’uhaa adza” (yang diikuti dengan tindakan menyakiti). Sebuah pantangan bagi seorang petugas layanan disaat memberikan layanan menampilkan sikap negatif, cuek, tidak peduli, judes, atau bahkan menyalahkan dan memarahi pelanggan atau publik yang dilayani. Hal demikian adalah termasuk tindakan bunuh diri dalam komunikasi pelayanan publik karena hanya akan merusak citra suatu lembaga layanan dan membuat kekecewaan publik yang melahirkan ketidakpuasan hingga menghilangkan loyalitas.
Pemberian pelayanan kepada publik selayaknya dilakukan dengan cara komunikasi yang memanusiakan, penuh perhatian dan kepedulian yang dapat membuat setiap pelanggan atau publik layanan merasakan kenyaman dan kepuasan dalam berkomunikasi saat pelayanan publik berlangsung sehingga mampu berujung pada loyalitas yng tinggi dari para pelanggan. Untuk itu dalam ayat komunikasi pelayanan publik itu, sangat menganjurkan untuk menjauhkan diri dari praktek komunikasi pelayanan yang dapat menyakiti publik layanan karena merendahkan dan tidak menghormati. Karena itulah perspektif profetik dalam komunikasi pelayanan publik mendorong terciptanya perilaku komunikasi yang santun dan empatik. Itulah inspirasi dari kalimat “qaulun ma’rufun khairun min shadaqatin yatba’uhaa adza”. Semoga diri kita semua khususnya para petugas layanan publik memiliki sikap penyantun, penyabar yang penuh kepedulian dan perhatian terhadap orang lain, yaitu para publik yang butuh dilayani. Berkomunikasilah dengan hati, hidupkan rasa pada setiap proses interaksi komunikasi yang sedang kita lakukan bersama.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB