oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Perspektif teologi islam memahami bahwa bencana, wabah atau penyakit yang berkembang dalam masyarakat adalah berada dalam kehendak Allah swt baik sebagai ujian, musibah atau adzab kepada manusia sebagai sebuah peringatan agar manusia segera bersadar diri untuk kemudian kembali ke jalanNya dan tunduk atas perintah dan aturannya.
Dalam menghadapi wabah penyakit, Islam mengajarkan untuk berusaha semaksimal mungkin menghindarinya dengan cara mencari obat dan penyembuhannya serta tidak boleh berpasrah diri menyerah tanpa adanya usaha untuk menyelamatkan diri dari wabah penyakit yang ada. Hal ini terungkap dalam sebuah hadits Nabi :
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ
“Semua penyakit ada obatnya. Jika cocok antara penyakit dan obatnya, maka akan sembuh dengan izin Allah.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَل لَهُ شِفَاءً
“Tidaklah Allah Ta’ala menurukan suatu penyakit, kecuali Allah Ta’ala juga menurunkan obatnya.” (HR. Bukhari)
Hadits tersebut diatas mengindikasikan bahwa setiap muslim dalam menghadapi suatu penyakit ataupun wabah wajib berusaha menghindar dengan cara berobat atau mencari obatnya dan tidak boleh berpasrah diri menyerah pada penyakit terlebih menantang wabah penyakit.
Tindakan menantang wabah penyakit dapat berupa sikap tidak peduli atau meremehkan adanya wabah penyakit bahwa membiarkan wabah penyakit menyebar tanpa ada upaya pencegahan atau pula melanggar aturan protokol kesehatan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pemerintahnya.
Sikap menantang dan meremehkan adanya wabah penyakit adalah tindakan yang menyalahi dari sunnatullah atau aturan Allah dan RasulNya. Bahkan salah satu dari maksud diturunkannya aturan Islam (maqashit syar’iyah) adalah untuk menjaga diri atau keselamatan jiwa atau diri (hifdhun nafs). Artinya menjaga keselamatan jiwa menjadi alasan utama dari penegakan hukum islam. Sehingga Islam mengharamkan bunuh diri dan melarang pembunuhan. Hal demikian ditegaskan dalam Firman Allah swt :
مِنۡ أَجۡلِ ذَٰلِكَ كَتَبۡنَا عَلَىٰ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعٗا وَمَنۡ أَحۡيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعٗاۚ وَلَقَدۡ جَآءَتۡهُمۡ رُسُلُنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرٗا مِّنۡهُم بَعۡدَ ذَٰلِكَ فِي ٱلۡأَرۡضِ لَمُسۡرِفُونَ
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi. (QS. Al-Ma’idah, Ayat 32)
Maksud menjaga jiwa disebabkan harga atau nilai suatu jiwa dalam Islam sangatlah tinggi dan wajib setiap muslim menjaga jiwa individu. Karena itulah disaat terjadi sebuah wabah yang melanda sebuah negeri maka Nabi Muhammad saw memberikan arahan yaitu jangan memasuki daerah yang terkena wabah tersebut, sementara bagi mereka yang sedang berada di dalam daerah yang terkena wabah maka dilarang untuk keluar dari wilayah itu untuk menjaga jiwa manusia lainnya agar tidak tertular dan tidak menularkan wabah pada daerah lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Nabi :
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
Artinya: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari).
Apa yang diajarkan oleh Nabi saw tersebut pada masa sekarang khususnya dalam menangani kasus wabah pandemi Covid-19 disebut dengan istilah Lockdown adalah mengunci seluruh akses masuk maupun keluar dari dan ke suatu wilayah. Demikianlah yang pernah dilakukan oleh Nabi sebagai instruksi kepada para sahabatnya pada masa itu dalam menangani dan menangkal penyebaran wabah lepra dan kusta yang tak kalah ganasnya pada waktu itu yaitu dengan cara melakukan isolasi diri dan isolasi wilayah sebagai langkah taktis, praktis dan strategis bagi masyarakat untuk memutus penyebaran penyakit.
Dalam sebuah atsar sahabat yang cukup panjang tercatat sebuah peristiwa tentang sikap para sahabat dalam menghadapi suatu wabah penyakit tha’un yang pernah terjadi pada tahun 18 H, hari itu Khalifah Umar bin Khattab ra bersama para sahabatnya berjalan dari Madinah menuju negeri Syam.
Mereka kemudian berhenti di daerah perbatasan sebelum memasuki Syam karena mendengar ada wabah Tha’un Amwas yang melanda negeri tersebut. Abu Ubaidah bin Al Jarrah, seorang sahabat Nabi yang ditugasi oleh Amirul mukminin sebagai Gubernur Syam ketika itu datang ke perbatasan untuk menemui rombongan agar mereka lebih baik kembali dan tidak masuk wilayah syam yang sedang dilanda wabah. Sebagaimana disebutkan dalam atsar sahabat berikut :
أَنَّ عُمَرَ، خَرَجَ إِلَى الشَّأْمِ، فَلَمَّا كَانَ بِسَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّأْمِ، فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ “ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ ”
“Sesungguhnya Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilah bernama Sargh. Saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad SAW pernah berkata, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu.” (HR. Bukhari).
Itulah yang disebut lockdown, sebuah konsep kenabian yang sangat cocok dalam realitas menghadapi covid-19 saat ini, sebab dengan konsep ini lebih memberikan prioritas pada keselamatan dan kemaslahatan jiwa manusia serta menolak mara bahaya. Karena memang selayaknya keselamatan jiwa raga haruslah lebih diutamakan dari pada hanya semata pertimbangan ekonomi. Sebab kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi masih bisa diupayakan namun keselamatan jiwa tidak dapat kembali lagi.
Konsepsi lockdown adalah solusi kenabian dalam menjaga jiwa manusia, wujud perhatian, kepedulian dan memuliakan terhadap jiwa manusia. Inilah wujud tanggung jawab kepemimpinan dalam Islam yang lebih mendahulukan jiwa penduduknya daripada hanya sebatas kepentingan ekonomi semata yang menandakan rendahnya tanggungjawab kepemimpinan. Inilah kepemimpinan humanis Islam yang menginspirasi kehidupan masa depan.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB