Penikmat layar lebar barangkali pernah menonton sinema populer ini: The Greatest Showman. Saya sendiri nyaris hilang tabah menonton film ini sedari awal. Sangat membosankan. Tapi, setelah sekitar menit ke-45 nyawa tontonan mulai hidup. Barnum (yang diperankan dengan apik oleh Hugh Jackman) yang dilahirkan dari orang tua melarat dan hidup dengan bantuan satu-dua lapis sisa roti yang dikais dari tempat sampah, merasa masa depannya dipenuhi kemuraman dan ketidakpastian. Ia merintih ditampik keadaan, yang kemudian memunculkan kesumat. Ia konversi murka menjadi daya ledak kemasyhuran.
Barnum sukses. Kerajaan pertunjukan sirkus yang ia dirikan menyedot gebyar malam New York (era 1800-an). Orang-orang terunik di kota (warna kulit, bentuk, ukuran, dan segala macam “keganjilan” tubuh) menghipnotis khalayak dan menjadi pemirsa setia. Istri dan dua putri kecilnya girang saat rumah baru yang megah dibeli, walau bukan itu yang mereka idamkan (istrinya anak kaum “menak”). Mereka hanya ingin hidup sederhana dengannya. Namun, sukses tak pernah kenal kata cukup: “All the stars we steal from the nightsky. Will never be enough.” Silau hidup dan kegeraman membuat Barnum terbang tinggi dan akhirnya jatuh. Ia bangkrut.
Ketidakpastian membuat orang mudah goyah. Jika dini hari mesti memulai amalan puasa, maka orang masih bisa tenang karena petang hari waktu berbuka akan tiba. Dia hanya perlu keteguhan menunda kenikmatan. Banyak orang sanggup melakukan ibadah itu. Modalnya niat dan keyakinan. Kaum muslim mengerjakan perintah puasa ramadan tiap tahun, bahkan melakukannya dengan riang gembira. Namun, bagi orang yang terhimpit beban hidup karena tanahnya diserobot, dipecat perusahaan, atau sawahnya disapu banjir; maka masa hayatnya menjadi kelam. Senja hari tak ada kepastian tersedia nasi yang bisa ditanak.
Di sinilah hakikat saum dibongkar, bukan lagi semata menunda kelezatan ragawi. Ia adalah paham pengendalian ruhani. Keterbatasan dan ketidakpastian bukan jendela melampiaskan dendam, tapi udara untuk mengalirkan kesadaran hidup bersahaja dan berbagi: menindih nafsu hingga serendah mata kaki. Seperti ujung kisah Barnum, bisnis pertunjukannya sukses diperjuangkan kembali, tapi ia tak ingin mengulang kesilapan kedua: mundur ketika di puncak. Dia memilih ikut maklumat nyonya: tak memilih glamor sebagai perhiasan diri dan meninggikan kemuliaan hidup bersama. Inilah jantung puasa.
Penulis : Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ketum IKA UB