“Korban pertama dari perang adalah kebenaran”, begitu narasi pertama yang muncul dari layar lama “5 Days of War.” Film kisah nyata yang berlatar perang antara Rusia dan Georgia ini dari dari sisi sinema tak istimewa. Namun, tiap perang selalu terjadi perebutan opini, tak terkecuali pertempuran ini. Rusia merasa Georgia pantas diserbu karena dianggap sedang menyiapkan upaya melawan negara tetangganya itu. Sebaliknya, Georgia menuduh Rusia melakukan operasi keji membombardir dan membunuh warga sipil, termasuk anak-anak, tanpa ada bukti sama sekali atas tuduhannya tersebut.
Opini dunia telanjur dikuasai oleh Rusia sehingga kebenaran sepenuhnya milik negara yang dulu bernama Uni Soviet itu. Beruntung ada dua jurnalis AS yang meliput perang tersebut, ditemani oleh satu penduduk lokal, yang mencoba mengabarkan peristiwa yang sebenarnya. Mereka ingin mengalirkan informasi alternatif agar peristiwa di lapangan tak dimonopoli oleh satu sudut pandang dan kepentingan. Tentu saja deskripsi jurnalis ini tak otomatis menjadi “kebenaran baru”, karena pada ujungnya seluruh hal mesti diuji secara ketat untuk sampai pada kebenaran.
Proses mencari kebenaran bukan hanya bisa diuji lewat metode akademik di kampus atau laboratorium, tapi juga di mahkamah pengadilan maupun investigasi jurnalistik. Salah satu diktum yang wajib diamalkan oleh wartawan adalah “cover both sides”. Kebenaran harus dimunculkan dari banyak pintu. Pada proses pengadilan dikenal asas kokoh: presumption of innocent (praduga tak bersalah). Seseorang harus dinyatakan tak bersalah sebelum pengadilan menyatakan sebaliknya. Proses ini pun kerap tak menjamin akan menemukan kebenaran yang dicari karena banyak hal bisa terjadi, misalnya kejahatan yang canggih atau kekuasaan korup yang melindungi.
Bagaimana dengan ragam “kebenaran” yang coba menyodok tiap hari, seperti: bimbingan disertasi mengirim bingkisan, peserta tender memberi kado, atau dokter menulis resep produk farmasi yang memfasilitasinya pelesir? Pikiran manusia dengan cepat akan memproduksi argumen untuk melegalkan laku tersebut. Namun, ada satu filter yang sulit ditembus: nurani. Lagu liris dari Simon & Garfunkel (Sound of Silence) memandu dengan baik: “Hello darkness, my old friend. I’ve come to talk with you again. Because a vision softly creeping. Left its seeds while I was sleeping. And the vision that was planted in my brain. Still remains. Within the sound of silence”. Kosongkan batin, jadikan hening. Tuntun sukma mengalunkan suara bening: jangan biarkan kebenaran jadi korban.
Penulis : Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ketum IKA UB