KANAL24, Malang – Potensi budidaya udang dan peluang ekspornya menjadi perhatian Ikatan Alumni Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (IKA FPIK) Universitas Brawijaya. Sabtu (13/6/2020) IKA FPIK menggelar diskusi daring mengenai Budidaya Udang yang diikuti bukan hanya oleh alumni FPIK sendiri, tetapi juga diikuti oleh audience dari berbagai latar belakang profesi salah satunya tentu petambak-petambak udang di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Banyuwangi, Lombok NTB.
Dalam sambutannya, Ketua Umum IKA UB, Prof. Ahmad Erani Yustika mengatakan bahwa setiap kali pada saat krisis yang diakibatkan oleh banyak hal, kalau kali ini karena pandemi, selalu menyadarkan bahwa basis sektor produksi bertumpu pada sektor pertanian termasuk didalamnya perikanan dan peternakan. Ini sebagai indikator untuk menentukan ketangguhan dan daya tahan suatu negara. Negara-negara yang sektor pangannya lemah, biasanya akan lumpuh terlebih dahulu.
“Pada saat ini kita memiliki uang saja untuk rumah tangga atau devisa untuk negara tidak cukup kalau tidak dapat dikonversi menjadi komoditas pangan seperti ikan, komoditas peternakan dan pertanian, sehingga ini percuma. Oleh karena itu, kita berharap seluruh pemerintah siuman untuk terus merawat dan memperkuat daya tahan sektor pangan kita. Salah satunya udang, karena komoditas ini menjadi salah satu kekuatan pangan Indonesia,”kata Erani.
Kemudian, salah satu pemateri yang merupakan alumni FPIK UB dan juga seorang pembudidaya udang varietas Vaname, Agus Saiful Huda menyampaikan bahwa salah satu alternatif untuk mengatasi krisis pangan adalah dengan memanfaatkan akuakultur (budi daya perairan), termasuk didalamnya budidaya udang.
Menurut Agus, ada beberapa isu global yang sedang dihadapi oleh dunia saat ini yakni distrupsi lingkungan, berupa penebangan hutan/pembakaran/ industrialisasi pabrik yang tidak ramah lingkungan. Lalu, keterbatasan energi terutama energi yang berbasis fosil menuju energi yang terbarukan seperti angin, gelombang, solar, biomas.
Selanjutnya, terjadinya lonjakan populasi dunia yang mana diperkirakan bahwa di tahun 2050 populasi penduduk dunia mendekati 10 Miliar orang yang tentunya ini berdampak pada ketersediaan pangan.
Berbicara mengenai ketersediaan pangan, menurut laki-laki yang mengaku sudah terjun ke dunia budidaya udang selama 30 tahun ini, saatnya untuk menjadikan makanan berbasis akuatik atau makanan laut (seafood) sebagai alternatif. Hal ini dikarenakan seafood memiliki protein retensi yang paling tinggi dan memiliki edible meat per 100 gram yang paling tinggi. Selain itu, akuakultur bisa meningkatkan sampai 52 persen untuk kebutuhan animal protein di tahun 2018 dan di 2030 bisa mencapai 62 persen.
Meski peluang terbuka lebar, para pembudidaya harus menciptakan sistem akuakultur yang berdaya saing tinggi. Daya saing ini meliputi produk, kualitas, dan teknologi. Lalu sistem akuakultur yang murah, mudah, profitable, aman, sehat, bertanggung jawab, dan berkelanjutan.
“Kita harus bersinergi dengan perguruan tinggi sebagai rumah inovasi untuk menciptakan sistem-sistem tersebut, karena akuakultur adalah peluang yang dapat menginspirasi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan global,” pungkasnya.(meg)