Perilaku konsumtif masyarakat di masa Pandemi Covid-19 cenderung meningkat. Terdapat berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh media. Berbagai media menawarkan kemudahan dalam berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Masyarakat cenderung membeli lebih dari apa yang dibutuhkan. Salah satu penyebabnya adalah kekhawatiran akan sesuatu yang buruk yang mungkin terjadi di masa depan. Nadya Vashti Alvita, mahasiswi Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang menemukan Gerakan Food Bank pertama di Surabaya bernama Garda Pangan.
Yayasan bernama Garda Pangan berdiri sejak bulan Juni 2017. Komunitas ini bergerak di bidang sosial, lingkungan, serta penyelamatan makanan berlebih atau biasa dikenal dengan istilah Food waste. Food waste merupakan kegiatan pembuangan makanan yang pada dasarnya makanan tersebut masih layak untuk dikonsumsi. Titis Jiyan Fitrianti merupakan salah satu relawan tetap Garda Pangan, ia memberikan keterangan, “Terkadang hanya karena makanan itu tidak memenuhi standar cantik di masyarakat, makanan tersebut harus terbuang. Terkadang juga karena ketersediaan yang berlebihan, membuat makanan tidak termakan dan akhirnya harus expired” terangnya.
Kebiasaan membuang sampah makanan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan Food waste terbesar kedua di dunia. Pembuangan sisa makanan tersebut akan berdampak buruk terhadap lingkungan dan juga sosial. Mengingat, masih banyak masyarakat di Indonesia yang kelaparan dan berjuang untuk mendapatkan makanan setiap harinya. Selain itu, sampah makanan tersebut akan menghasilkan gas metana dan karbondioksida yang berdampak buruk bagi lingkungan, “Dampak negatif terbesar dari Food waste terhadap lingkungan adalah gas metana. Gas ini 21kali lipat lebih bahaya daripada karbondioksida” tutur Titis Jiyan Fitrianti yang akrab di panggil Titis tersebut.
Pihak penerima manfaat tidak perlu khawatir akan kualitas makanan yang akan dibagikan karena terdapat Standard Operating Procedure (SOP) yang ketat dari Tim Garda Pangan. SOP itu untuk memastikan makanan ditangani secara higienis dan disampaikan secara bermartabat. “Kita cek rasanya, kondisi fisik dari makanan, aromanya, expired date produk, lalu kemudian kita sortir dengan higienis serta disalurkan secepatnya kepada beneficiaries” terang Titis.
Ketika makanan dari para mitra Garda Pangan dalam keadaan kurang layak dikonsumsi, Titis menerangkan, “Kalau memang tidak layak, terpaksa kami hancurkan. Langkah tersebut adalah langkah paling akhir yang kami ambil. Jika produk pertanian seperti buah-buahan yang overripe, biasanya kami olah lagi menjadi kudapan lain atau bisa juga kami olah menjadi kompos” terangnya.
Pendaftaran menjadi relawan lepas Garda Pangan yang dibuka setiap 2 minggu sekali. Garda Pangan membebaskan relawannya berasal dari mana saja, individu, keluarga, atau institusi/komunitas. Garda pangan saat ini memiliki kurang lebih 40 relawan tetap dan ratusan relawan lepas harian. Di masa Pandemi Covid-19 ini, mereka tetap aktif ber-operasi meski dengan membatasi waktu operasionalnya demi keselamatan bagi penerima manfaat maupun para relawan. Kegiatan pendistribusian makanan selama masa Pandemi Covid-19 sebanyak 1x dalam seminggu. Pada awalnya, kegiatan kegiatan tersebut berlangsung sebanyak 3x dalam seminggu.
“Sebelum Pandemi Covid-19, akomodasi kami pakai taxi online tetapi saat ini kami menggunakan mobil para relawan” terang Titis. Akan tetapi hal itu tidak membatasi dan tidak mematahkan semangat mereka untuk tetap menjadi pahlawan makanan, “Melihat respon masyarakat yang sanagat mendukung kegiatan kami, Tim relawan juga tetap bersemangat, karena selain bisa kontribusi mengurangi Food waste, kami juga bisa menyalurkan bantuan pangan yang berdampak pada kepuasan batin masing-masing relawan” ucap mahasiswi asal Surabaya itu. Pada bulan Juni, Garda Pangan telah mendistribusikan 4.174 porsi makanan, 2.759 buah dan sayur, 150 minuman, 9.794 susu, 9996 paket sembako, 1.350 masker dan 11.863 snack dengan total donasi Rp 136.003.178.
Penulis : Nadya Vashti Alvita Mahasiswa FP UB