oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Pendekatan profetik sarat dengan nilai-nilai etik yang dapat melandasi manusia dalam menjalankan realitas kehidupannya termasuk dalam menyebarkan berita. Pada realitas akhir zaman ini, disaat informasi begitu mudah diakses, dimana setiap orang dapat memperoleh berita dari mana saja dan kapanpun saja dengan sangat mudah dan cepat seiring dengan kecanggihan berbagai alat telekomunikasi yang juga semakin maju, maka setiap orang dapat dengan mudah memperoleh informasi tentang apapun saja dan mudah pula dalam menyebarkannya. Sehingga tidak sedikit pula seseorang yang tergoda untuk bertindak sebagai penyebar berita pertama kali agar dianggap sebagai orang yang terdepan dalam informasi. Karena setiap orang telah berkuasa atas penyebaran berita denga alat komunikasi yang dimilikinya melalui berbagai media sosial yang ada. Hal ini apabila tidak dipandu dengan nilai-nilai etika jurnalisme yang baik tentu akan berdampak secara negatif dalam realitas kehidupan. Hal demikian diinformasi dalam teks sumber wahyu :
وَإِذَا جَآءَهُمۡ أَمۡرٞ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ لَٱتَّبَعۡتُمُ ٱلشَّيۡطَٰنَ إِلَّا قَلِيلٗا
Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu) (QS. An-Nisa’, Ayat 83)
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan asbabun nuzul ayat diatas, yakni berkaitan tentang menyebarnya (viral) berita tentang kabar bahwa Nabi telah menceraikan semua istrinya. Sebagaimana diriwayatkan dari Umar bin Khattab menyampaikan bahwa :
حِينَ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَّق نِسَاءَهُ، فَجَاءَهُ مِنْ مَنْزِلِهِ حَتَّى دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَوَجَدَ النَّاسَ يَقُولُونَ ذَلِكَ، فَلَمْ يَصْبِرْ حَتَّى اسْتَأْذَنَ عَلِيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْهَمَهُ: أَطَلَّقْتَ نِسَاءَكَ؟ قَالَ: “لَا”. فَقُلْتُ اللَّهُ أَكْبَرُ. وَذَكَرَ الْحَدِيثَ بِطُولِهِ.
Yaitu ketika ia mendengar berita bahwa Nabi Saw. menceraikan istri-istrinya. Maka ia datang dari rumahnya, lalu masuk ke dalam masjid, dan ia menjumpai banyak orang yang sedang memperbincangkan berita itu. Umar tidak sabar menunggu, lalu ia meminta izin menemui Nabi Saw. dan menanyakan kepadanya apakah memang benar beliau menceraikan semua istrinya? Ternyata jawaban Rasulullah Saw. negatif (yakni tidak). Maka ia berkata, “Allahu Akbar (Allah Mahabesar),” hingga akhir hadis.
Sementara menurut lafaz dari Imam Muslim menyebutkan :
فَقُلْتُ: أَطَلَّقْتَهُنَّ؟ فَقَالَ: “لَا” فَقُمْتُ عَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ فَنَادَيْتُ بِأَعْلَى صَوْتِي: لَمْ يُطَلِّقْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءَهُ. وَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ} فَكُنْتُ أَنَا اسْتَنْبَطْتُ ذَلِكَ الْأَمْرَ.
Aku (Umar) bertanya, “Apakah engkau menceraikan mereka semua?” Nabi Saw. menjawab, “Tidak.” Aku bangkit dan berdiri di pintu masjid, lalu aku berkata dengan sekeras suaraku, menyerukan bahwa Rasulullah Saw. tidak menceraikan istri-istrinya. Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). (An-Nisa: 83)
Aku (kata Umar) termasuk salah seorang yang ingin mengetahui kebenaran perkara tersebut.
Makna (يَسْتَنْبِطُونَهُ) ialah menyimpulkannya dari sumbernya.
Pandangan perspektif profetik melalui teks ayat tersebut memberikan arahan bahwa salah satu etika dalam komunikasi massa terlebih tentang menyebarkan (menviralkan) berita adalah bahwa seseorang haruslah berhati-hati, memastikan kebenaran berita dan tidak tergesa-gesa dalam menyebarkannya sebelum nyata kebenaran sehingga tidak terjebak dalam fitnah yang sangat merugikan orang lain. Tindakan tergesa-gesa dalam menyebarkan berita merupakan hal yang dilarang dalam agama karena selain hal demikian merugikan orang lain termasuk pula bahwa tergesa-gesa merupakan perbuatan syetan. Bahkan ketergesa-gesaan dalam menyebarkan berita akan mengurangi kejelian dalam menilai berita.
Bahkan secara tegas Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat tersebut ini merupakan pengingkaran dan pelarangan tegas dari Allah swt terhadap orang yang tergesa-gesa dalam menanggapi berbagai urusan sebelum meneliti kebenarannya, lalu ia memberitakan dan menyiarkannya, padahal belum tentu hal itu benar.
Bahkan menurut perspektif profetik, seseorang yang menyampaikan semua apapun yang didengarnya dari orang lain sudah termasuk dalam tindakan menyebarkan kebohongan. Sebab tidak mungkin seseorang mampu menyampaikan suatu pesan persis seperti apa yang didengar sebelumnya, karena dalam menyampaikan ulang pesan yang ada sebelumnya pasti telah bercampur dengan persepsi dan interpretasi individu sehingga sangat mungkin terjadi penambahan dan pengurangan dari pesan aslinya. Untuk itu Rasulullah mengatakan bahwa menyampaikan apapun yang didengar termasuk sebuah kebohongan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: “كفى بالمرء كذبا أَنْ يُحدِّث بِكُلِّ مَا سَمِعَ
dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Cukuplah kedustaan bagi seseorang bila dia menceritakan semua apa yang didengarnya. (HR. Muslim)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Al-Mugirah ibnu Syu’bah hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. telah melarang perbuatan qila wa qala (katanya-katanya, jarene -jawa-), maksudnya suka menyampaikan berita dari orang lain yang tidak jelas kebenarannya. Makna yang dimaksud ialah melarang perbuatan banyak bercerita tentang apa yang dibicarakan oleh orang-orang tanpa meneliti kebenarannya, tanpa menyeleksinya terlebih dahulu, dan tanpa membuktikannya. Di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
بِئْسَ مَطِيَّة الرَّجُلِ زَعَمُوا عَلَيْهِ
Seburuk-buruk lisan seseorang ialah (mengatakan) bahwa mereka menduga (anu dan anu).
Di dalam kitab sahih disebutkan hadis berikut, yaitu:
مَنْ حَدَّثَ بِحَدِيثٍ وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
Barang siapa yang menceritakan suatu kisah, sedangkan ia menganggap bahwa kisahnya itu dusta, maka dia termasuk salah seorang yang berdusta.
Dapat disimpulkan bahwa etika dalam penyebaran berita dalam perspektif profetik adalah :
1. Memastikan terlebih dahulu kebenaran atas berita yang akan disebarkan.
2. Tidak mudah dan tidak tergesa-gesa dalam menyebarkan berita kecuali harus dilakukan penelitian dan melakukan cross check atas validitas berita yang ada.
3. Harus selektif dalam menyebarkan berita dan tidak boleh menyampaikan semua berita pada orang yang diterima karena berkemungkinan bernilai kebohongan.
4. Seseorang harus membedakan dengan jelas, antara data atau fakta dengan persepsi dan interpretasi, sehingga antara keduanya tidak bercampur aduk yang dapat mengaburkan kebenaran berita.
5. Seseorang tidak boleh menyebarkan berita berdasarkan persepsi dan dugaan belaka.
6. Seseorang haruslah menjauhkan diri dari penyebaran berita yang bersumber dari kabar yang tidak jelas siapa pengirimnya atau “kabar burung”.
7. Dilarang keras menyebarkan berita hoax. Apabila suatu berita telah nyata kedustaannya maka dilarang bagi seseorang untuk menyebarkannya sekalipun hal itu dianggapnya sebagai bumbu untuk “penyedap rasa” dalam perbincangan.
Berbagai nilai etika ini dibangun agar komunikasi manusia berjalan dengan baik dan jauh dari kebohongan (hoax). Karena berita bohong hanya akan merusak tatanan hubungan dalam kemanusiaan.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB