Inti kemanusiaan ada pada hati letak semua rasa. Manusia yang sempurna adalah seseorang yang memiliki perasaan yang hidup sehingga mampu memahami bahwa setiap realitas apapun tidaklah terlepas dari rancangan indah sang pemilik cinta kasih bahkan dalam kesedihan ada belaian kasih Nya. Tuhan kita adalah Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang penuh cinta kasih pada hamba-nya tidak ada satupun peristiwa yang terjadi pada diri hamba kecuali adalah wujud kasihnya sekalipun seorang hamba pada awal peristiwa tidak menyadari bahwa dibalik persoalan yang dihadapi ada cinta yang sedang dipersiapkan nya di beberapa waktu kemudian. Bahkan dalam rahasia cintanya sengaja dia sembunyikan dibalik Setiap peristiwa agar hamba memiliki jiwa yang kuat dengan kesabaran yang teguh sebagai modal dirinya untuk menghadapi beragam persoalan lain yang mungkin jauh lebih hebat di kemudian hari.
Agama kita adalah agama cinta kasih. Hal ini terungkap dari kalimat pembuka dalam setiap tindakan seorang muslim. Yaitu pada kalimat Bismillahirrahmaanirrahiim. Diantara sekian banyak sifat-sifat kebesaran Allah dan keagungannya hanya sifat ar-rahman dan ar-rahim sang pengasih dan penyayang yang dipergunakan oleh Allah untuk mendeskripsikan sifat Agungnya dan dijadikan deklarasi dalam setiap awal tindakan kemanusiaan. Hal ini menandakan bahwa agama ini ingin membentuk karakter para pemeluknya menjadi pribadi-pribadi yang yang pengasih dan penyayang. Suatu karakter bagi diri manusia yang dipenuhi dengan rasa cinta. Keharmonisan hidup hanya akan terbentuk manakala manusia dipenuhi oleh perasaan cinta kepada sesama. Perhatikanlah Rasulullah saw kala diusir oleh penduduk Thaif saat hijrah pertama dengan dilempari batu oleh anak-anak penduduk karena provokasi pemimpin bani Tsaqif. Namun saat Nabi ditawari oleh malaikat Jibril untuk mengadzab mereka, Rasulullah menolaknya bahkan mendoakan kebaikan kepada penduduknya. Sebagaimana terungkap dalam hadist yang diriwayatkan oleh sayyidatina Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ عَلَيْكَ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ قَالَ لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Apakah engkau pernah mengalami satu hari yang lebih berat dibandingkan dengan saat perang Uhud?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku telah mengalami penderitaan dari kaummu. Penderitaan paling berat yang aku rasakan, yaitu saat ‘Aqabah, saat aku menawarkan diri kepada Ibnu ‘Abdi Yalil bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali ketika di Qarn Ats-Tsa’alib, lalu aku angkat kepalaku. Tiba-tiba aku berada di bawah awan yang sedang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril ‘alaihis salam, lalu ia memanggilku dan berseru, ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah ‘azza wa jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka.’ Malaikat penjaga gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata, ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Al-Akhsyabain (dua gunung besar yang ada di kanan kiri Masjidil Haram).
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, namun aku berharap supaya Allah melahirkan dari anak keturunan mereka ada orang-orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua.” (HR. Bukhari – Muslim).
Sikap Rasulullah saw yang demikian jika bukan karena dilandasi rasa cinta kasih maka bagaimana mungkin hal itu terjadi. Normalnya, jika seseorang sedang dihina dan disakiti lalu kemudian ada seseorang yang memiliki kekuasaan menawarkan bantuan untuk membalaskan dendam untuknya maka pastilah dengan senang hati akan diterimanya. Namun, tidak dengan Rasulullah, beliau percaya bahwa kekerasan sikap hanyalah akan membuat ummat akan menjauh dari ajakan kebenaran. Sebagaimana digariskan oleh Allah swt :
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. (QS Ali ‘Imran : 159)
Inilah agama kasih sayang. Seluruh ajarannya dimaksudkan untuk mewujudkan rasa kasih sayang dan tujuan akhirnya berujung pada kasih sayang pula. Bahkan pada aturan allah yang sangat keras sekalipun seperti di hukum qishash allah masih tetap meletakkan nilai kasih sayang sebagai tujuan utama dari penetapan hukum qishash tersebut. Sebagaimana firman Allah :
وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa. (Qs. Al-Baqarah : 179)
Qisas hukun dibunuh bagi pembunuh. Bagaimana mungkin dikatakan ada kehidupan dalam hukum balasan pembunuhan terhadap pembunuh ? Sementara menurut sebagian kalangan hal demikian adalah melanggar HAM? . Namun disinilah keunggulan islam, bahwa dengan diterapkan hukum qisas (dibunuhnya pembunuh) maka tidak ada lagi upaya balas dendam dari keluarga korban sehingga kehidupan selanjutnya akan berjalan normal kembali, dengan demikian tetap terwujudlah subsrnasi rasa kasih sayang dan cinta di kalangan manusia.
Demikianlah islam menegakkan nilai-nilai kasih sayang dan cinta kasih dalam setiap aspek ajarannya.
Semoga kita mampu menjadi pribadi yang mamou menebar cinta dan.kasih sayang pada siapapun dan diberi keluasan hati untuk menebarkan nilai kasih sayang dalam kehidupan. Semoga Allah meridhoi kita. Aamiin