oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Salah satu prinsip komunikasi adalah irreversible yaitu setiap pesan yang telah tersampaikan tidak akan kembali lagi, maksudnya bahwa apapun yang telah diproduksi dan keluarkan oleh seseorang dari dirinya berupa pesan verbal ataupun tindakan sekali dikeluarkan maka tidak dapat diulang kembali dan telah menjadi milik orang lain untuk dipersepsi. Apa yang telah terjadi dalam sebuah tindakan komunikasi tidaklah mungkin akan terulang kembali. Seseorang tidak mampu memutar kembali jarum jam untuk kemudian seakan-seakan tidak terjadi suatu peristiwa. Ketika seseorang menampar pipi orang lain, maka sesuatu tindakan telah terjadi, anda tidak dapat seakan-seakan berpura-pura tidak terjadi peristiwa pemukulan sebab dampak atau akibat dari tindakan telah dirasakan oleh orang lain korban tamparan itu. Hal yang mungkin anda lakukan adalah meminta maaf, namun bukan berarti dengan ungkapan permohonan maaf mampu menghapuskan peristiwa pemukulan itu. Tindakan pemukulan (menampar pipi) adalah peristiwa yang tidak bisa ditarik kembali (irreversible), sementara dampak tindakan telah dirasakan sehingga permohonan maaf atas tindakan hanyalah sebuah realitas semantik (tindakan selanjutnya untuk memberikan makna atas tindakan pertama) yang tidak merubah dampak atau efek konsekwensi tindakan.
Demikian pula dengan pemberian berupa sedekah, bahwa apapun pemberian yang telah diberikan oleh diri seseorang atas orang lain manakala telah lepas dari tangannya hal itu telah menjadi milik orang lain dan tidak bisa serta tidak boleh diungkit-ungkit kembali. Karena memang haruslah demikian dalam memberi, bahwa sikap yang harus dimiliki oleh seseorang saat memberi adalah irreversiblety bahwa apa yang telah kita berikan tidak akan dapat ditarik kembali untuk itu janganlah mengungkit-ungkit kembali apapun yang telah diberikan karena mengungkitnya akan menyakitkan perasaan orang lain dan menjadi hilang nilai keikhlasan atas pemberian. Seseorang yang mengungkit-ungkit kembali apa yang telah lepas dari dirinya (infaq sedekah), atau disebut sikap al mananah. Mengungkit-ungkit pemberian (al mananah) ibarat seseorang yang menjilat ludah sendiri. Tentu hal ini menjadi perilaku yang menjijikkan dan memalukan. Allah swt mengingatkan dalam FirmanNya :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُبۡطِلُواْ صَدَقَٰتِكُم بِٱلۡمَنِّ وَٱلۡأَذَىٰ كَٱلَّذِي يُنفِقُ مَالَهُۥ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ صَفۡوَانٍ عَلَيۡهِ تُرَابٞ فَأَصَابَهُۥ وَابِلٞ فَتَرَكَهُۥ صَلۡدٗاۖ لَّا يَقۡدِرُونَ عَلَىٰ شَيۡءٖ مِّمَّا كَسَبُواْۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَٰفِرِينَ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. (QS. Al-Baqarah : 264)
Al Mananah merusak prinsip ireversibelitas komunikasi, sesuatu yang harusnya dilakukan secara ikhlas dalam memberi dengan tidak mengungkitnya kembali namun dirusak sendiri disebabkan kepentingan personal berupa harapan adanya penghargaan dan pengakuan dari orang lain atas apa yang diberikannya berupa riya, inilah perusak amal manusia. Sikap riya’ (pamer) ini menghilangkan penilaian Allah swt dan menggantikannya dengan penilaian manusia, sehingga orang yang melakukan demikian dianggap sama dengan menduakan Allah swt dalam melakukan penilaian. Sikap ini termasuk tindakan yang merusak keimanan. Untuk itu mengungkit-ungkit pemberian disamakan dengan sikap riya (pamer) dan meniadakan keyakinan kepada Allah swt dan hari pertanggungjawaban (yaumul akhir). Perilaku seperti ini diibaratkan dengan sebuah batu licin yang diatasnya berdebu dan hilang tanpa bekas sebab air hujan yang mengguyurnya. Hilanglah nilai kebaikan, pahala dan keberkahannya. Untuk itu tindakan ini sangat dilarang dan dibenci oleh Rasulullah saw. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadist:
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ وَالدَّيُّوثُ وَثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ وَالْمُدْمِنُ عَلَى الْخَمْرِ وَالْمَنَّانُ بِمَا أَعْطَى
Telah mengabarkan kepada kami ‘Amru bin ‘Ali dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zura’i dia berkata; Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Muhammad dari ‘Abdullah bin Yasar dari Salim bin ‘Abdullah dari Bapaknya dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga golongan yang Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat; anak yang durhaka kepada orang tua, wanita yang menyerupai laki-laki, dan Dayyuts, yaitu seorang yang merelakan keluarganya berbuat kekejian. Dan tiga golongan mereka tidak akan masuk surga; anak yang durhaka kepada orang tua, pecandu khamer, dan orang yang selalu menyebut-nyebut pemberiannya.” (HR. An Nasai. No. 2515)
Dalam riwayat yang senada disampaikan oleh Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan mengajak mereka bicara pada hari kiamat, tidak melihat mereka, tidak mensucikan dosanya dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih.”
Abu Dzar berkata lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya sampai tiga kali. Abu Dzar berkata, “Mereka gagal dan rugi, siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Orang yang melakukan isbal (memanjangkan sarungnya sampai melebihi mata kaki), orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang (berusaha) membuat laku barang dagangan dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 106)
Islam menegaskan bahwa memberi haruslah ikhlas tanpa mengungkit apapun pemberian. Sikap al manaanah dapat merusak hubungan antar individu, karena merendahkan orang lain dan dianggap mempermalukan orang lain. Sekalipun seseorang memang membutuhkan sesuatu namun mereka juga memiliki harga diri untuk dijaga. Islam sangat menjaga harga diri seseorang karena harga diri melebihi materi apapun. Harga diri adalah kehormatan diri, batasan nilai yang ditetapkan atas dirinya terhadap respon orang lain dalam berinteraksi dengan dirinya. Karena itu nilai diri memiliki batas subjektiv. Untuk itu Islam memberikan perhatian terhadap harga diri seorang muslim sebagai sesuatu yang harus dijaga sebab dasar keimanannya. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يخذله ولا يحتقره التقوى ها هنا. ويشير إلى صدره ثلاث مراّت. بحسب امرئ من الشر أن يحتقر أخاه المسلم كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه. رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Sesama Muslim adalah saudara maka ia tidak boleh menzaliminya, mengecewakannya, mencibir atau merendahkannya. Ketakwaan itu sesungguhnya di sini”, sambil menunjuk dada dan diucapkannya tiga kali. “Seseorang sudah cukup jahat ketika ia sudah menghina sesama saudara muslim, setiap muslim adalah haram dinodai jiwanya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)
Kehormatan dan harga diri adalah nilai berharga yang dimiliki dan tersisa dari suatu diri manakala sejumlah kompetensi materi telah tidak mereka miliki. Maka kehormatan diri adalah harta termahal yang dimiliki seseorang sehingga Islam benar-benar menjamin eksistensinya. Sehingga seseorang yang memberi sedekah pada orang lain sebagai wujud komunikasi sosial dirinya haruslah tetap menjaga kehormatan diri orang lain dengan tidak mengungkit-ungkit pemberian yang telah dilakukannya. Untuk itu Islam memberikan batasan nilai sebagaimana FirmanNya :
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنّاً وَلا أَذىً لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah : 262)
Lebih ditegaskan bahwa komunikasi yang baik, melalui interaksi yang humanis serta upaya saling penerimaan berupa perkataan yang baik dan pemberiaan maaf atas orang lain adalah tindakan yang afdhal (lebih utama) daripada memberi sesuatu namun disertai tindakan komunikasi yang menyakiti dan menyinggung perasaan orang lain (al manaanah). Sebagaimana Firman Allah swt:
۞قَوۡلٞ مَّعۡرُوفٞ وَمَغۡفِرَةٌ خَيۡرٞ مِّن صَدَقَةٖ يَتۡبَعُهَآ أَذٗىۗ وَٱللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٞ
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya, Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah, : 263)
Inilah indahnya Islam, menekankan pentingnya tindakan komunikasi yang baik, humanis, harmonis dengan maksud agar harga diri dan kehormatan seseorang (pride) tetap terjaga dan berwibawa. Inilah nilai Islam yang agung. Wallahu a’lam