KANAL24, Malang – Aliansi Mahasiswa Resah Brawijaya (Amarah Brawijaya) yang terdiri dari mahasiswa Universitas Brawijaya melakukan aksi di tengah pandemi Covid-19, Kamis (18/6/2020). Sekitar 70 mahasiswa menuntut penurunan uang kuliah tunggal (UKT) dan transparansi dari pihak kampus.
Aksi dilakukan dengan longmarch yang dimulai dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) menuju ke gerbang veteran, lalu ke Gedung Rektorat. Perwakilan aksi, Ragil Ramadhan menegaskan bahwa mahasiswa menuntut keadilan karena sampai detik ini belum ada kebijakan dari kampus yang dirasa dapat meringankan beban UKT (Uang Kuliah Tunggal) mahasiswa.
Tuntutan aksi ini adalah keterbukaan informasi atau transparansi penggunaan anggaran, pengurangan UKT atau Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) sebesar 50 persen terhadap seluruh mahasiswa Universitas Brawijaya baik Program Vokasi, Sarjana dan Pascasarjana pada semester ganjil Tahun 2020/2021. Pembebasan UKT atau SPP bagi mahasiswa yang hanya mengambil tugas akhir (tugas akhir vokasi, skripsi, tesis, dan disertasi) dan tidak sedang mengambil mata kuliah lain. Kemudian bagi mahasiswa UB yang sedang tidak mengambil tugas akhir dapat mengajukan pembebasan, pengurangan dan atau penundaan, yang mekanismenya diatur oleh Peraturan Rektor.
“Hari ini kami menuntut keadilan yang kiranya tidak pernah diberikan oleh kampus selama ini, terutama saat krisis seperti ini. Sampai sekarang, belum ada sebuah kebijakan yang dirasa oleh mahasiswa dan orang tua mahasiswa dapat meringankan beban, mempermudah dan membuat kita semakin nyaman untuk berkuliah,” ujar Ragil
Sebelumnya, pihak kampus Brawijaya sudah memberikan bantuan kepada mahasiswa, akan tetapi aliansi ini menilai bantuan tersebut hanyalah gimmick karena hanya memberikan kepada mahasiswa yang berada di Malang dan jumlahnyapun tidak seberapa.
Ragil juga mengungkit adanya Pertor (Peraturan Rektor) No.17 Tahun 2019 terkait penundaan, penurunan, dan pembebasan UKT yang dirasa kurang menjawab lantaran masih bermasalah di masing-masing fakultas.
“Pengalaman saya di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), saat UKT tidak bisa diturunkan, dengan terpaksa kami harus melakukan penundaan, yang mana itu sama aja. Karena di masa pandemi seperti ini, orang tua kami tidak bisa memastikan apakah nanti saat membayar UKT memiliki uang atau tidak. Untuk itu, kami menuntut adanya ketegasan dari Rektorat agar UKT semester depan dimurahkan,” jelasnya.
Lebih lanjut, berdasarkan laporan keuangan UB, beban yang paling berat adalah biaya operasional. Sementara di masa pandemi ini sudah pasti beban operasional berkurang.
“Logikanya, sekarang kita bisa lihat saat ini kampus sepi, tidak ada kegiatan perkuliahan seperti biasa, tidak ada pengeluaran-pengeluaran yang kiranya menunjang operasional. Tapi sampai sekarang belum ada kebijakan yang cukup tegas untuk mengatur bagaimana kita membiayai kuliah untuk semester depan,” kata mahasiswa FIA UB itu.
Ketegasan terkait penurunan UKT dirasa sangat diperlukan di masa krisis akibat pandemi saat ini. Sebab dari sisi ekonomi, banyak orang tua mahasiswa yang terdampak secara signifikan. Berdasarkan survei yang telah dilakukan, sekitar 100 orang tua mahasiswa mengalami PHK dan ada beberapa orang tua yang gajinya dipotong hingga 50 persen.
Disisi lain, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Prof. Abdul Hakim, saat berdialog dengan mahasiswa mengatakan bahwa Universitas Brawijaya melalui Yayasan dan donasi para alumni telah menyiapkan anggaran khusus bagi mahasiswa yang terdampak Covid-19. Ia mengaku di UB ada sekitar 9700 mahasiswa yang dibebaskan biaya kuliahnya.
Mantan Direktur Pascasarjana UB itu meminta mahasiswa untuk memberikan data mahasiswa yang ingin mengajukan keringangan UKT. “Silakan bawa kepada kami, daftar mahasiswa yang terdampak. Kami telah berkomitmen jangan sampai ada mahasiswa UB yang putus kuliah karena terdampak Covid-19, yang tidak mampu datanya bawa kepada kami, karena beberapa mahasiswa juga sudah kami tangani,” tandasnya.(meg)